.quickedit{ display:none; }

"Non Active"

 

Monday, May 21, 2012

PMK FISIP UNPAD : Edisi Hari Peringatan Reformasi Indonesia, 21 Mei 2012

0 comments


"menulis, berpikir, menginspirasi"


Pengantar Divisi Kajian Sosial Politik
“Reformasi Tak Bertuan”



Reformasi lahir dari sebuah konsekuensi kekritisan dan prinsip yang tidak tergoyahkan sekalipun oleh ancaman kematian. Setidaknya reformasi membutuhkan tokoh yang mengadopsi tiga hal penting komitmen, integritas, dan konsistensi. Itulah kesimpulan sementara saya pasca membaca ringkasan gerakan pembaharuan yang dipimpin oleh Marthin Luther pada abad ke-16 (J F S).

            Tepat pada hari Kamis, 21 Mei 1998 telah menjadi puncak pendakian panjang para pejuang Reformasi Indonesia. Ditandai oleh pengunduran diri Presiden Soeharto, demonstran yang padat merayap menduduki Gedung MPR/DPR bersorak sorai merayakan ujung penantian panjang.
            Reformasi Indonesia bisa jadi seirama dengan apa yang diperjuangkan Marthin Luther dkk yakni memperjuangkan gerakan pembaharuan dari ketidakserasian antara status quo dengan prinsip dan idealisme yang membara dalam bathin. Kendati demikian tidak dapat dimungkiri bahwa ada keberbedaan yang mendasar antar keduanya. Konteks Indonesia, penyelenggaraan negara yang dimaknai tidak lagi sesuai dengan keadaban dan cita-cita kemerdekaan oleh mahasiswa dan masyarakat pada masa itu dimanifestasikan dengan sebuah kemarahan yang tidak terkendali. Celakanya, situasi instabilitas kerap dimanfaatkan segelintir orang menjadi ajang prosesi yang tidak manusiawi.
            Kurang pantas ketika kita menyalahkan sepenuhnya perjuangan dengan warna kekerasan ini harus terjadi. Sebab masa itu mengharuskannya demi sebuah perubahan. Lantas, bagaimana kita memandang reformasi Indonesia yang berusia 14 tahun?
            Empat belas tahun adalah waktu yang singkat dan kerap dianggap wajar ketika Indonesia masih tetap pada kondisi sekarang ini. Banyak kalangan membandingkan Indonesia dengan proses panjang yang juga dialami negara sekaliber Amerika. Namun, bagi saya bukan persoalan usia proses sebuah negara, melainkan bagaimana negara itu mendefenisikan perjuangan menuju cita-cita Reformasi itu sendiri. Sehingga tidak wajar ketika mereka para pejuang reformasi yang telah duduk di kursi pemerintahan berkelit dengan alasan empat belas tahun begitu singkat untuk perubahan yang berarti.
            Ada banyak kalangan menyesalkan Reformasi Indonesia ketika melihat mereka para muda pengganti rezim tua juga melakukan hal yang sama. Korupsi pra reformasi hanya berubah nama menjadi korupsi pasca reformasi, perbedaannya hanya pada distribusi korupsi yang semakin cair ke bawah. Mereka memandang sistem demokratiasi, desentraliasi, dan depolitisasi ABRI, serta penyeimbangan kekuasaan Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif hanya dari segi prosedur. Tampaknya mereka melupakan bahwa semua itu demi terciptanya kesejahteraan dan kemakmuran bersama.
              Sempat terpikir oleh saya membandingkan gerakan pembaharuan Gereja yang diperjuangkan Marthin Luther dkk dengan Reformasi yang diperjuangkan mahasiswa tahun 1998. Meski dalam warna sangat jauh berbeda, tetapi esensinya relatif sama. Mengingat kembali perjuangan Marthin Luther yang berani menentang kekeliruan-kekeliruan sekalipun itu dilakukan oleh pemimpin besar Gereja, yakni Paus Leo pada masa itu. Beliau punya komitmen memperjuangkan idealisme dan prinsipnya dan yang tak kalah penting keteguhan hati dan konsistensi yang tidak pernah pudar. Inilah gambaran kepemimpinan dan kepeloporan yang bisa kita refleksikan.
            Reformasi Indonesia adalah sebuah gerbang awal bukan akhir dari perjuangan. Masa itu telah melahirkan para tokoh yang kita kenal sampai hari-hari ini. Mereka memiliki kekritisan dan kepintaran luar biasa. Tapi, akan sayang sekali ketika kekritisan dan kepintaran itu tidak diimbangi dengan komitmen, idealisme, integritas, dan konsistensi. Semoga Indonesia menemukan pemimpinnya, hingga Reformasi Indonesia tidak lagi tak bertuan (JFS).

“Selamat Membaca Tulisan Edisi Hari Peringatan Reformasi Indonesia teman-teman... Dan jangan lupa terus berpartisipasi menulis di blog PMK FISIP.. Salam hangat. Gbu..”







Opini

(1)
Reformasi: Sebuah Proses

Oleh : Sarita Kasetyanku*
Ketika kemiskinan melanda, rakyat berteriak “harusnya pemerintah…”
Ketika ada bencana alam, rakyat berteriak “harusnya pemerintah… “
Ketika ada kasus dalam tubuh pemerintahan, rakyat berteriak “harusnya pemerintah…”
Ketika ada kontroversi kedatangan Lady Gaga ke Indonesia, rakyat berteriak “harusnya pemerintah…”
Bahkan, ketika ada kecelakaan pesawat Sukhoi, rakyat berteriak “harusnya pemerintah…”

            HEY?! Semakin lama kok seruan rakyat semakin aneh saja. Masalah besar atau kecil langsung teriak “mana pemerintah?!”. Please deh, kalau begini kenapa kita nggak sekalian kembali lagi ke zaman Soeharto aja, dimana segala sesuatunya diatur pemerintah. Apa gunanya ada reformasi 1998?
            Jujur saja, sebenarnya saya juga kurang paham betul tentang reformasi 1998. Untunglah ada mesin pencari super bernama Google, sehingga saya dapat menuliskan sedikit yang saya dapat disini. Intinya, reformasi Indonesia pada tahun 1998 merupakan peristiwa di mana rakyat Indonesia, diwakili oleh kaum mahasiswa, berdemonstrasi besar-besaran untuk menggulingkan pemerintahan totaliter Soeharto. Rakyat Indonesia sudah jenuh dengan tekanan-tekanan yang dilakukan oleh Soeharto dan pesuruhnya. Rakyat Indonesia menginginkan sebuah perubahan menuju kebebasan individu dan perbaikan-perbaikan dalam tubuh pemerintahan Indonesia yang sebelumnya terlalu didominasi oleh “kerabat” Soeharto.
            Menurut Surakhmad (2009), reformasi adalah sebuah proses perubahan menuju sebuah tujuan bersama. Tujuan tersebut harus fundamental dan sesuai dengan kepentingan berbagai pihak yang terkait. Hal inilah yang menurutku perlu kita renungkan kembali. Reformasi sebuah proses, bukan sekadar hura-hura pada tahun 1998 silam. Reformasi tersebut masih berlanjut hingga saat ini dan kini aktornya adalah kita. Bukan berarti kita harus mengikuti cara mahasiswa pada tahun 1998 (which is demo besar-besaran buat menggulingkan presiden), tapi kita ias mulai dari diri kita sendiri. Mulai dari diri kita sendiri. Basi banget sih kedengarannya, tapi itu benar lho!
            Kembali ke bahasan awal, saya nggak menyalahkan orang-orang yang bergantung pada pemerintah dan akhirnya dikecewakan. Pemerintah memang seharusnya mampu melindungi warga negaranya dari berbagai permasalahan yang mungkin mengancam mereka, namun bukan berarti segala sesuatunya kita serahkan pada pemerintah. Kita juga punya peran. Bahkan, peran kita lebih penting, yakni sebagai penggerak iasa ini. Saya seringkali geram apabila mendengar seruan-seruan ‘harusnya pemerintah begini’ atau ‘harusnya pemerintah begitu’ yang semakin lama semakin sering terdengar dan tanpa ada solusi yang terucap. Rasanya pengen bilang ke orang-orang itu, “wah, kayaknya kamu lebih tau deh, kenapa nggak kamu aja sekalian yang jadi presiden?”
            What I’m saying is, reformasi itu sebuah proses, bukan hanya hura-hura demonstrasi pada tahun 1998, jadi reformasi itu masih berlangsung hingga sekarang. Kita adalah penggerak reformasi, bukan hanya pemerintah. Jadi, sebelum nyalah-nyalahin pemerintah soal ini dan itu, lebih baik kita melakukan apapun yang kita ias terlebih dahulu. Entah membantu warga miskin di sekitar kita atau apapun. Jangan biarkan rasa kecewa terhadap pemerintah menjadi hambatan bagi kita untuk melakukan perubahan. Perubahan-perubahan yang kecil apabila dilakukan terus menerus pasti akan menjadi sebuah perubahan besar.

Sekian pendapat saya, salam merdeka dari Indonesia! J
*Mahasiswa Hubungan Internasional Unpad 2009


(2)
Reformasi : Perbaikan atau Perburukan?

Oleh : Martahan Sohuturon Lumban Gaol*
                Berbicara tentang reformasi menurut saya reformasi itu sendiri mempunya definisi yaitu gerakan untuk melakukan suatu perubahan yang tentunya perubahan dari sebuah struktur yang kurang baik ke arah struktur yang lebih baik, ataupun dari sebuah birokrasi yang buruk ke birokrasi yang baik.
                Di indonesia sendiri istilah reformasi sendiri mulai terkenal sejak tahun 1998, dimana pada saat itu terjadi perubahan rezim, dari rezim soharto yang kita kenal dengan sebutan orde baru ke orde reformasi. Terjadinya reformasi di Indonesia berawal dari pergerakan rekan” mahasiswa pada saat itu, dimana mahasiswa pada saat itu bergerak untuk menyerukan suara agar pak harto turun pada saat itu.
                Seiiring berjalannya waktu era reformasi pun telah berganti menjadi era demokrasi, berarti telah terjadi perubahan dari orde baru ke era demokrasi, akan tetapi apakah reformasi yang berlangsung sudah sesuai dengan harapan kita semua? Menurut saya reformasi yang telah berlangsung disini adalah reformasi yang kebablasan, reformasi jauh dari harapan kita. Justru yang kini dirasakan reformasi malah tidak membawa akibat positif. Reformasi seakan mati suri, perubahan yang diharapkan tidak dapat tercapai. Contohnya saja birokrasi di negara kita, birokrasi di negara kita yang katanya telah mengalami reformasi faktanya tidak, tetap saja negara kita terkenal dengan sistem birokrasi yang sulit dan berbelit-belit. Jadi dimanakah efek reformasi itu dapat kita rasakan?
                Jadi menurut saya ada baiknya lah kita telaah ulang reformasi yang telah terjadi di Indonesia ini, dari hal-hal apa saja yang telah berubah, dan apakah perubahan itiu menuju ke arah yang lebih baik. Karena bila perubahan itu justru membuat negara kita jadi semakin buruk ada baiknya kita kembali ke keadaan yang semula dan tidak ada salahnya juga bila kita cocokan reformasi yang telah terjadi dengan UUD kita apakah itu cocok atau tidak. Tetap semangat melakukan perubahan demi Indonesia yang lebih baik. Sekian, Trimakasih. Tuhan berkati.
*Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Pemerintahan Fisip Unpad 2008


(3)
Reformasi ala Orde Baru

Oleh : Joshua Sibagariang*  
“dengan memperhatikan ketentuan Pasal 8 UUD 1945, dan setelah dengan sungguh-sungguh memperhatikan pandangan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat dan Pimpinan Fraksi-Fraksi yang ada didalamnya, saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden Republik Indonesia, terhitung sejak saya bacakan Pernyataan ini, pada hari ini, Kamis 21 Mei 1998”
Sepenggal kata-kata di atas merupakan kutipan pidato pengunduran diri Soeharto sebagai Presiden RI . 21 Mei 1998 tepatnya 14 tahun yang lalu,  merupakan hari yang bersejarah bagi bangsa indonesia  dimana pada saat itu bersamaan dengan berakhirnya rezim Soeharto lahirlah sebuah era baru yang disebut sebagai “Era Reformasi”. Sebuah rezim yang diharapkan dapat membawa Indonesia menuju kondisi kesejahteraan yang lebih baik.
Belum lepas ingatan kita bagaimana kondisi Indonesia di masa Soeharto yang membawa Indonesia ke masa kehancuran. Dimulai dengan krisis ekonomi yang melanda Indonesia, ketimpangan sosial di kalangan masyarakat, korupsi di kalangan pejabat negara dan banyak lagi masalah lain yang menimpa negeri ini. Kondisi ini menyebabkan munculnya gerakan-gerakan demonstrasi di penjuru negeri. Ketidakpuasan masyarakat akan sikap pemerintah mengakibatkan munculnya arus demonstrasi besar-besaran di mulai dari pusat sampai ke daerah-daerah. Ditengah kondisi negara yang sedang bergejolak mahasiswa mulai turun ke jalan menuntut agar Soeharto untuk mundur dari jabatannya sebagai presiden RI.
Sekarang setelah 14 tahun masa reformasi masih banyak kekurangan yang dialami negeri ini. Bahkan banyak warisan dari rezim Soeharto yang masih dibawa sampai saat ini. Kebebasan berpendapat belum sepenuhnya didapatkan oleh semua kalangan masyarakat. Dari sisi masyarakat sendiri kita dapat melihat bagaimana kebebasan berpendapat sering digunakan dengan cara-cara yang kurang baik. Aksi anrkisme dimana-mana, pengerusakan, pembakaran dan banyak lagi aksi anrkis lainnya. Ruang media dipenuhi dengan berita-berita tentang aksi demonstrasi anarkis yang dilakukan baik oleh mahasiswa maupun ormas-ormas yang seakan tidak sabar dan melakukan aksi kekerasan dalam menyuarakan aspirasinya. Belum lagi tindak kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan, ketimpangan penegakan hukum, perampasan hak-hak rakyat, dan masih banyak lagi kelemahan pemerintah di masa ini.
Di era reformasi sekarang ini muncul banyak partai politik yang seakan tiada hentinya menggoda rakyat dengan janji-janji politis. Kesejahteraan, keamanan, kesamaan di bidang hukum, pendidikan murah, fasilitas kesehatan dijadikan sebagai bahan kampanye oleh para politisi. Meskipun kebanyakan janji tersebut bagai hilang ditelan bumi. Kepentingan pribadi dan golongan menjadi prioritas utama bagi para politisi yang pada akhirnya malah membawa kerugian bagi negara. Mereka seakan menumbuhsuburkan budaya korupsi dan money politic  di negeri ini .
Kondisi ini seakan membawa kita kembali ke masa orde baru dimana korupsi tumbuh subur dan menjadi lahan empuk bagi para politisi untuk melakukan tindakan korupsi. Dan yang lebih menyakitkan lagi adalah ketika para mantan aktivis mahasiswa yang dulu dengan lantang menuntut reformasi sekarang malah berbalik  melakukan tindakan korupsi. Para aktivis 1998 yang sekarang duduk di kursi-kursi empuk di pemerintahan seakan menelan ludahnya sendiri. Dulu menolak tapi sekarang malah ikut melakukan tindakan korupsi.
Reformasi sesungguhnya merupakan suatu gerakan besar yang dapat mendorong negara ini ke arah yang lebih baik. Sebuah gerakan besar yang dulu pernah digunakan untuk menjatuhkan rezim orde baru seharusnya mampu  membawa negeri ini ke arah yang lebih baik. Sepertinya negara ini kehilangan konsep tentang bagaimana reformasi ini berjalan pasca orde baru sehingga kesalahan-kesalahan di masa orde baru seperti terulang kembali. 
Mahasiswa sebagai kaum intelektual juga dituntut untuk mampu memikirkan konsep negara ini di masa mendatang dan jangan lagi mewarisi budaya korupsi. Dan seperti kita ketahui bersama negara kita memiliki banyak politisi namun minim sosok negarawan yang rela berkorban bagi bangsa dan negaranya. Jadilah mahasiswa yang peduli sekitar dan kelak jadilah seorang negarawan.
Selamat Hari Reformasi..!!
*Penulis adalah Mahasiswa Administrasi Bisnis Fisip Unpad 2010



0 comments:

Post a Comment