.quickedit{ display:none; }

"Non Active"

 

Thursday, May 31, 2012

REALEASE TALKSHOW PMK FISIP UNPAD

0 comments


REALEASE TALKSHOW PMK FISIP UNPAD
“Are You Indoensian?”
Ketika Budaya Tak Lagi Berdaya

            Tepat 26 Mei 2012, PMK FISIP UNPAD menggelar talkshow bertemakan “Are You Indonesian”, Ketika budaya Tak Lagi Berdaya. Acara perdana ini dihadiri oleh sekitar 250 orang termasuk pengisi acara dan panitia. Talkshow yang dipandu oleh Pangeran Siahaan (Chief Writer Provocative Proactive, Metro TV) sebagai moderator menghadirkan Ratna Sarumpaet, Remy Sylado, Dede Mulyanto, dan Adam Ardisasmita sebagai pembicara.
            Dalam kesempatan pertama Ratna Sarumpaet mengawali perbicangan dengan mengajak peserta untuk tidak selalu memandang budaya sebagai sesuatu yang konkrit saja yakni karya seni, melainkan lebih dari itu kita juga harus memperhitungkan nilai-nilai budaya yang merasuk di dalamnya. Pernyataan ini disambut baik oleh Dede Mulyanto dengan menekankan kembali bahwa serangkaian nilai itulah yang sesungguhnya sedang mewujudrupa dalam sebuah karya seni.
            Disadari atau tidak, ada banyak hal dari budaya bangsa kita yang sengaja direduksi oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Ratna Sarumpaet mencoba mengangkat kasus-kasus intoleransi umat beragama yang masih marak di kalangan masyarakat. Intoleransi pada dasarnya bukanlah konstruksi budaya bangsa. “Apa yang kita lihat hari-hari ini dengan munculnya ormas-ormas berjubah agama tidak lebih dari rangkaian konspirasi yang dilakukan pemerintah”, jawabnya tegas sambil menyinggung peranan ormas-ormas yang kerap berlakon anarkis.
            Berkaitan dengan korupsi dan sikap konsumtif yang kerap diidentikkan dengan budaya bangsa, Ratna lantas sangat menentang pelekatan istilah budaya untuk keduanya. “Bagi saya korupsi lebih tepat disebut sebagai kejahatan yang dibiarkan berjalan secara berlarut-larut”, ungkapnya. Di sisi lain,  Dede Mulyanto menambahkan bahwa sikap konsumtif yang diidentikkan dengan bangsa kita lebih tepat kita sebut sebagai sterotipe. “Itu hanya stereotipe saja yang diciptakan berdasarkan cara pandang kita sendiri dengan tidak menelusuri secara mendalam. Lama-kelamaan stereotipe inilah yang berkembang menjadi sebuah stigma di dalam komunitas kita”, katanya saat menyambut pertanyaan Pangeran Siahaan.
            Menghindari tercerabutnya nilai budaya bangsa di kalangan masyarakat sudah barang tentu tidak lepas dari  tugas dan peranan negara. Celakanya dalam beberapa kasus pemerintah justru tidak mampu menggunakan pendekatan budaya dalam menangani serangkaian konflik di dalam negara. Kasus Aceh misalnya, seharusnya bukanlah persoalan sulit ketika pemerintah mampu mengidentifikasi masalah dan memilih pendekatan budaya. “Sekarang kan sudah jelas apa yang Aceh inginkan”, katanya sambil menggali kembali memorinya saat menyampaikan pidato kebudayaan di Aceh pada masa itu. 
            Saat ditanyakan tentang imperialisme budaya, Ratna justru menganjurkan peserta agar tidak terlalu khawatir dengan budaya asing yang masuk ke negeri kita, yang penting hari ini adalah bagaimana memperkokoh pondasi budaya bangsa. Ketika pondasinya sudah kuat, kita tidak perlu sibuk dengan urusan claim dan imperialisme budaya. “Saya lebih senang mengajak kita untuk mengembalikan budaya kesolidaritasan kita untuk tidak membiarkan saudara sebangsa kita mengalami penindasan, saya rasa itu poin pentingnya”, ujarnya disambut tepuk tangan dari para peserta.
            Saat salah seorang mahasiswa memberikan tanggapan bahwa seharusnya kita juga tidak melulu menyalahkan pemerintah. Bahwa sebelum mengkritik, sepatutnya mengoreksi diri sendiri terlebih dahulu, Ratna pun memberikan tanggapannya. “Pada prinsipnya kita juga harus koreksi diri sendiri, tapi jangan lupa mengkritik pemerintah. Sibuk mengoreksi diri sendiri, ntar keburu mati tu anak orang”,  jawabnya dengan nada lantang.
            Tidak kalah menarik, Remy Syladopun memberikan tanggapan-tanggapan atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Pangeran Siahaan. Dengan mengingatkan kembali arti dan asal nama Indonesia yang lantas  menggambarkan bahwa budaya bangsa kita lahir setelah terjadinya akulturasi budaya, beliau sedang memulai perbincangan dan perdebatan bathin bagi para pendengarnya. Masuknya budaya asing ke Indonesia, seharusnya dipandang sebagai sebuah proses yang akan mendewasakan kebudayaan kita. Jangan pernah melupakan bahwa budaya Indonesia juga terbentuk oleh akulturasi antar budaya.
            Remy pun mengajak kita bercermin sejenak, bahwa bangsa kita memang masih menyimpan banyak kelemahan. Memilih berdebat dan mengeluhkan budaya asing yang mengkampanyekan wujudnya ke negara kita tidak akan membangun kita. “Toh, dari ujung kepala sampai kaki kita, tidak terlepas dari pengaruh budaya asing. Sekarang pokok persoalannya adalah bagaimana kita bisa mengkonsepsikan hasil-hasil kebudayaan kita. Jangan sibuk berdebat budaya kita direbut asing, kita dijajah asing, tetapi fokus lah bagaimana menciptakan hasil budi dan daya yang kompetitif di kalangan global”, ujarnya sembari menyebutkan satu per satu kata dalam bahasa Indonesia yang diserap dari bahasa asing.
            Kekalahan bangsa kita hari-hari ini juga tidak terlepas dari kebiasaan kita yang lebih senang merasa daripada berpikir. “Kita kan lebih suka merasa ketimbang berpikir. Saya ambil contoh, dalam berpendapat kita mengawalinya dengan saya rasa... bukan saya pikir.. yang merupakan kebiasaan orang inggris (I think). Contoh lain, Observer di Indonesia di sebut pemerhati, be carefull di Indonesia hati-hati,  dan lain-lain yang menunjukkan kita lebih senang merasa dan menggunakan hati dari pada pikiran”, ujarnya sembari mengumbar tawa yang khas.
            Untuk penggunaan bahasa asing, Remy tidak tertarik untuk melarang. “Saya kira mengerti bahasa asing itu penting. Yang saya tidak senang, banyak orang justru menggabungkan bahasa asing dengan bahasa Indonesia, misalnya so what gitu loh, ha ha. Itu dia yang kampungan” jawabnya diiringi sambutan tawa para peserta.
            Lantas, dimana mahasiswa dan generasi muda saat ini? Apakah generasi muda sudah berkontribusi untuk melestarikan budaya bangsa Indonesia? Pembicara keempat, Adam Ardisasmita seorang mahasiswa ITB dan CEO Arsanesia memberikan jawaban seputar pertanyaan ini.
            Adam Ardisasmita adalah salah satu pendiri perusahaan game yang dirintisnya bersama rekan sejurusannya. Menelusuri pasar dunia dengan produk game-game mobile yang bertemakan kebudayaan Indonesia adalah kekhasan yang mereka miliki. Tidak tanggung-tanggung, game mobile ini telah diunduh sampai ke beberapa negara di dunia, dan terbanyak diminati di Turki dan Jerman. Pasalnya, dalam pembuatan game ini ada banyak tanggapan miring yang meragukan kepopuleran game ini di pasar Indonesia apalagi dunia. Tapi dengan tekad dan motivasi tinggi akhirnya game ini justru mendapat penghargaan dan sanjungan dari pengunduh dan juga salah satu perusahaan telepon genggam ternama.
            Di saat banyak orang meragukan popularitas pasar game bertema kebudayaan, tapi Adam dan rekan-rekannya di Arsanesia tetap bertahan dengan konsepnya. Tentunya ini tidak terlepas dari dorongan dan prinsip dari generasi muda ini. “Bila ingin sedikit berbagi, kami melihat anak-anak Indonesia termasuk saya dulunya lebih sering disuguhi dengan cerita-cerita dari luar negeri yang dikemas dengan sangat menarik. Kami rasa inilah yang menjadikan generasi muda tidak mengenal kebudayaan yang ada di negeri sendiri”, ungkapnya.  Kesalahannya terletak pada kurangnya media yang bisa mengkomunikasikan kebudayaan kepada anak-anak bangsa. Khususnya media kontemporer yang diminati dan lebih dekat dengan dunia mereka. Inilah yang mendorong Arsanesia memilih media digital untuk mengkampanyekan kembali budaya Indonesia pada anak-anak bangsa secara khusus dan pada dunia pada umumnya.
            Saat ditanyakan mengenai tantangan generasi muda yang memperjuangkan pelestarian kebudayaan Indonesia, Adam menjawab bahwa bangsa ini masih kurang dalam apresiasi karya. “Masih bayak yang harus diperbaiki dari bangsa kita terkait apresiasi. Ada banyak yang berjuang mempertahankan budaya Indonesia dengan cara mereka masing-masing, tetapi tidak banyak yang mengapresiasinya. Saya kasih contoh, game dari Arsanesia sudah diunduh sampai ke luar negeri, ironisnya pengunduh dari luar negeri jauh lebih banyak dibanding dari negeri sendiri”, ujarnya sambil tersenyum.
            Pertunjukan bicang-bincang inipun diiringi dengan respon positif peserta. Para pembicara idaman mereka menyampaikan argumentasinya menjadi nilai jual tersendiri yang memukau para peserta. Talkshow ini didukung oleh para pengisi acara yakni Teatrikal GMKI Sumedang, Padjajava, Karinding Merinding, dan Society. (JFS)  (Div. Materi)
            

0 comments:

Post a Comment