“Anjing” Dari Mulut Rafael
Suatu hari setelah jenuh bertapa di Bukit Geulis, saya memutuskan kembali ke tanah datar ibukota. Kembali bersua dengan keluarga. Pemandangan pertama yang saya lihat ketika pintu rumah saya buka adalah adik saya yang SMP mengejar-ngejar keponakan laki-laki saya. “Ayo sini mandi, udah sore,” adik saya berusaha membujuk, “ntar kasih ke topeng monyet lo”. Keponakan saya tidak pedulian. Terus saja ia lari-larian, tertawa-tawa girang. Menyulitkan adik saya yang sudah setengah kesal.
Keponakan kecil saya itu namanya Rafael. Umurnya hampir dua tahun. Kepalanya botak. Tadinya rambutnya lebat seperti Baim tapi karena banyak koreng jadinya digunduli. Kecil, botak, dan lumayan bandel. Persis seperti tuyul. Ia anak kakak saya yang paling tua. Rafael kecil sering dititipkan di rumah kalau ibunya sedang pergi bekerja. Ayahnya sudah meninggal waktu ia umur setahun.
Akhirnya ia terpojok. Aksi pertahanan lainnya ia lakukan. Tiduran telentang di lantai. Bajunya sudah kotor dari tadi, hasil dari main seharian. Adik saya yang sekarang sudah benar-benar kesal menariknya. Rafael meronta-ronta, menendang-nendang tapi apalah tenaga anak umur dua tahun. Walaupun berusaha keras tetap saja ia bisa ditelanjangi. Tiba-tiba ia berteriak, “Anjing ! Anjing!”, memaki sebal adik saya.
Saya terdiam. Ini tidak lucu. Di sekitar rumah tidak ada yang memelihara anjing kok. Anjing-anjing di film kartun kebanyakan digambarkan lucu, tidak mungkin dijadikan bahan makian. Selesai ia mandi, saya tanya padanya siapa yang mengajari memaki seperti tadi. Orang-orang di keluarga ini tidak mungkin mengajari kelakukan “terminal” seperti itu. Lantas dari mana ia mempelajarinya. Ia tidak acuh dan malah asyik memanjati sofa dan main terjun-terjunan. Setelah itu mengajak saya menemaninya main bola. Sudah lupa dengan makiannya tadi.
“Dia belajar dari warnet tuh, Mon” adik saya nyeletuk. “Kan kalo ada yang lagi main poker, kalau kalah kan suka nyumpah serapah kayak gitu.”
Di samping rumah, kami membuka warnet. Untuk memudahkan memantau, tembok belakang warnet diruntuhkan dan dipasangi pintu menuju halaman belakang rumah. Rafael suka bermain-main ke sana.
Saya pernah membaca kalau manusia itu bagai selembar kertas putih. Bagaimana ia nantinya berperilaku tergantung orang-orang di sekitarnya yang mengisi kertas itu. Tabula rasa nama teorinya. Teori ini sebenarnya sudah usang karena sudah banyak penelitian yang menunjukkan ada hal-hal lain yang sifatnya genetis yang membentuk perilaku seseorang. Bukan cuma hasil dari “oret-oretan” orang-orang di lingkungannya.
Mungkin teori ini paling pas untuk anak umur dua sampai enam tahun. Umur-umur kritis ketika semua tingkah laku orang-orang di sekitarnya ditirunya. Rafael kecil sedang mempelajari bagaimana harus bertindak, bertutur kata, dan berlaku terhadap orang lain. Tapi kenapa yang paling cepat dipelajari itu justru hal-hal yang kita rasa tidak pantas dilakukan.
Saya lalu teringat tentang konsep dosa warisan. Awalnya saya ragu, bagaimana mungkin bayi, anak-anak kecil yang polos tiba-tiba langsung mendapat cap “BERDOSA” dari Allah. Anak-anak ini tentu tidak berpikir atau berprasangka buruk seperti yang orang dewasa lakukan. Mereka tidak mengenal politik. Kelakukan bandelnya paling malas makan. Tapi apa itu langsung menjadi dosa. Dosa karena tidak menghargai tubuh sendiri (terus saja spekulasi Mon...sampe jauh). Dari Rafael, saya bertafsir, anak-anak diberdosakan oleh sifat alaminya, sifat alami anak-anak spesies Homo Sapiens, untuk meniru orang lain di sekelilingnya. Mereka meniru dari dunia yang telah tercemar ini. Kalau meniru dari dunia yang tercemar apa hasilnya kalau bukan kecemaran juga. Awalnya mereka mungkin tidak sadar akan tindakan yang mereka lakukan. Toh cuma peniruan tanpa mengerti maknanya. Namun bila hal yang tidak pantas itu terus dilakukan dan tidak diberi pengarahan oleh orangtua akan berlanjut mengakar dan menjadi kebiasaan. Tidak bisa dielakkan, sudah ada pewarisan dosa dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Kalau menyangkut dosa, tidak ada “obat” yang lebih mujarab daripada yang ditawarkan oleh Yesus. Cuma Dia yang bisa memutihkan. Deterjen tidak. Alternatif pertama Rafael harus ditumpangtangani penginjil yang sering bikin perhelatan akbar di stadion-stadion untuk mengusir roh pemaki dari dalam dirinya. Mahal dan kesempatannya langka, jadi saya coret saja cara ini.
Alternatif kedua Rafael harus menerima perilaku yang konsisten dari semua anggota keluarga. Tegas tapi penuh kasih sayang (nah lho bagaimana tuh caranya). Kami juga harus selalu menjaga perilaku dan tutur kata kami agar benar-benar mencerminkan pengikut Kristus sehingga dari kami ia bisa belajar meneladani Yesus. Lebih berat daripada cara pertama tapi lebih mungkin untuk dilakukan.
Ketika Rafael tidur saya pandangi muka polosnya. Saya bergumam dengan suara yang mungkin mengalahkan suara infrasonik sehingga kalong pun tidak bisa mencuri dengar. Semoga kami dan dunia yang tercemar ini tidak menghalanginya kepada Yesus. Seperti yang pernah Ia sendiri firmankan, "Biarkan anak-anak datang kepada-Ku."
Penulis adalah mahasiswa jurusan Hubungan Internasional angkatan 2007.
0 comments:
Post a Comment