.quickedit{ display:none; }

"Non Active"

 

Thursday, October 27, 2011

“Nomadisme Legislatifa” (Edisi Hari Jadi DPR 29 Agustus 2011)

0 comments
Pada Hari Minggu ku turut ayah ke kota
naik delman istimewa ku duduk di muka
Ku duduk samping pak kusir yang sedang bekerja
mengendarai kuda supaya baik jalannya

Tuk-tik-tak-tik-tuk tik-tak-tik-tuk tik-tak-tik-tuk (Pak Kasur)

            Lirik lagu di atas melukiskan kenyamanan dan kenikmatan di dalam delman yang dikendalikan dengan baik oleh Pak Kusir. Namun, apa yang terjadi bila tangan Pak Kusir terlepas dari kendali kudanya? Kuda itu mengamuk dan berlari tak terkendali. Tak terhitung berapa kerusakan yang akan diakibatkannya. Dan, yang paling mengharukan bagaimana nasib penumpang yang ada di dalam Delman? Mungkin kita hanya bisa berdoa semoga raga masih dikandung badan.
            Nah, bagaimana dengan Lembaga Legislatif Indonesia atau yang lazim kita sebut dengan istilah DPR? Lantas, apa sebenarnya hubungan Legislatif dengan Delman? Tanpa mengurangi rasa hormat, saya terinspirasi oleh lirik lagu di atas dan akhirnya mencoba menganalogikan kondisi DPR dewasa ini dengan Delman yang kehilangan kendali Pak Kusir. Mungkin terlalu “ekstrim”, namun ini cukup membuat saya lebih paham bagaimana melepas benang kusut krisis integritas di DPR.  
            Bila ditinjau kebelakang, keberadaan DPR merupakan produk Demokrasi yang mengedepankan rakyat untuk ikut serta dalam policy making. Konsep luhur ini telah lahir dalam konsepsi pemikiran para filsuf sejak zaman Yunani kuno. Aristoteles pernah menyatakan bahwa penyelenggaran negara yang paling mungkin diadakan adalah Demokrasi moderat. Melewati zaman demi zaman, pemikiran demi pemikiran, akhirnya berujung pada praktis sejak abad ke-19 yang sampai saat ini diterapkan di banyak negara.
            Namun kuantitas rakyat yang bayak merupakan sebuah kendala. Bagaimana mungkin negara diatur oleh orang banyak. Tentu akan rentan konflik. Akhirnya konsep representasi hadir menjadi sebuah solusi. Konsep “orang banyak yang diwakilkan oleh sekelompok orang” inilah salah satu landasan adanya DPR. Kemudian, muncullah penyempurnaan demi penyempurnaan. Termasuk di dalamnya “Trias Politica” yang diusung Jhon Locke dan Montesquie demi menghindari kekuasaan otoritarianisme yang kerap kali mengebiri pita suara rakyat.
            Dalam perjalanannya, konsep yang diadopsi bangsa ini masih menemukan persimpangan. Tak dapat dipungkiri, tantangan-tantangan baru muncul mengiringi. Bangunan nilai luhur itu mampu dibelokkan untuk membuka celah masuknya banalitas yang merajalela. DPR beralih tidak lagi mendengar rakyatnya. Partai politik dipandang sebagai dewa yang mengalahkan kekuasaan rakyat. Elit politik mulai muncul dengan tanpa etika dan berkhianat dengan rakyat. Hingga akhirnya istilah vox populi vox dei menjadi kehilangan kesaktiannya.
            Berbagai ekspektasi kini jamak menjadi isapan jempol belaka. Disaat rakyat menderita mendaki gunung untuk bekerja. Mengarungi ombak untuk mencari ikan. Melawan terik matahari dan kemarau panjang untuk menelan singkong. bertualang siang dan malam menguras keringat untuk menahan sakit yang saban hari menghantui. Wakil-wakil rakyat dengan mudahnya merealisasikan hobi “merampoknya”. Kenikmatan menjadi selimut yang membuatnya tidur pulas. Setiap kali, bersulap dan beratraksi di panggung, di depan layar kaca bagai badut berwajah dua.
            Potret miring kerap dipertontonkan, meski dari sekian banyak wakil rakyat, tidak semua yang senang bersolek bagai badut. Di tengah-tengah para pesulap dan pesolek yang menjanjikan permen, ternyata ada beberapa negarawan yang sejatinya bekerja keras untuk keadilan yang dinanti-nantikan. Namun, apa daya dekapan sekitarnya hanya menjadikan dia seorang yes man dan pengikut-pengikut setia. Akhirnya ini sukses menjadikan masyarakat kehilangan pengharapan dan jamak menganut fatalisme.
            Lantas apa penyebabnya? Tentu pertanyaan demi pertanyaan selalu mengarah pada pertanyaan tersebut. Berbagai spekulasi hingga hipotesis dan teori bermunculan. Ada yang bersikap reaksioner dengan mengutuk demokrasi sebagai penyebabnya kemudian menawarkan ideologi lain yang diyakininya. Ahli lain menyatakan regulasi yang belum memadai dan masih perlu peninjauan. Kemudian, muncul argumentasi lain yang menyatakan negeri pasca reformasi sedang salah arah, karena demokrasi liberallah yang dominan diterapkan, bukan demokrasi yang khas Indonesia.
              Kembali lagi pada “Delman”. Bila saja Pak Kusir selalu merawat tali kendali kudanya dan selalu memperhatikan kualitas hidup kudanya. Asupan nutrisi tidak pernah terlambat diberikan. Tentu kejadian seperti di atas tidak akan terjadi.
            Begitu pula dengan DPR. Perawatannya akan dimulai sejak awal proses rekrutmen sampai mereka menyelesaikan kontrak politiknya. Rekrutmen yang dewasa, tanpa ada embel-embel money politic, dinasti keluarga, dan rekan atau sahabat. Kemudian beban dan mental pengawas harus benar-benar terbentuk dan melekat pada rakyat, khususnya generasi muda. Lalu mekanisme evaluasi yang jelas terhadap kinerja DPR.
Pasca hari ulang tahun DPR RI, semoga DPR kita menjadi DPR yang lebih baik! Tuhan Memberkati..
Junius Fernando S Saragih
Ilmu Pemerintahan Fisip Unpad 2009)

0 comments:

Post a Comment