oleh: Raja Pasaribu
Subsidi BBM di tahun 2011 telah melampaui batas kewajaran. Kenaikan anggaran subsidi BBM terjadi karena kenaikan harga minyak mentah dunia dan lonjakan volume konsumsi BBM, terutama premium. Karena semakin kompleksnya masalah, rencana pembatasan subsidi telah menimbulkan dilema bagi pemerintah, apakah akan tetap dijalankan atau ditunda, bahkan dibatalkan.
Wacana kenaikan harga kembali mencuat sebagai kebijakan yang lebih tepat ketimbang pembatasan konsumsi. Sebelumnya, pemerintah tak mau menaikkan harga BBM bersubsidi. Padahal, harga minyak mentah sudah 100 dollar AS per barrel, subsidi harga BBM untuk transportasi serta elpiji tahun 2011 sebesar Rp 165 triliun dan subsidi listrik akibat pemakaian BBM untuk pembangkit Rp 90 triliun. Total subsidi Rp 255 triliun. Pendapatan pemerintah dari migas 272 triliun.
Pilihan kenaikan harga dinilai tidak populis, punya risiko politik yang tinggi, mendorong inflasi, dan tidak tepat sasaran karena golongan menengah keatas tetap menikmati subsidi. Apalagi, dalam konteks Undang-Undang APBN 2012, tidak ada opsi kenaikan harga BBM bersubsidi, hanya ada pembatasan BBM.
Meskipun jelas-jelas merupakan amanat UU APBN 2012, pembatasan BBM menghadapi dua masalah pelik, yakni dampak beban biaya sosial-ekonomi dan masalah ketidaksiapan teknis BBG (bahan bakar gas). Masalah-masalah ini justru mengemuka dari hasil pembahasan Komisi VII DPR dengan berbagai pihak, yakni pakar, Pertamina, Hiswana Migas, pelaku UMKM, Gaikido dan Kadin, beberapa hari lalu.
Kesiapan BBG masih minim
Kebijakan energi alternatif BBG merupakan langkah yang tepat karena produksi gas dalam negeri memadai, bahkan separuhnya telah diekspor, sedangkan produksi BBM tidak mencukupi sehingga harus impor. Bahan bakar gas relatif aman serta lebih murah dan ramah lingkungan. Namun, tetap saja dipastikan bahwa tersedia gas untuk keperluan dalam negeri, khususnya untuk BBG, seperti yang dibutuhkan PLN dan pabrik pupuk ataupun untuk LPG rumah tangga.
Menurut hemat saya yang menjadi masalah teknis pengadaaan alternatif BBG disamping belum adanya jaminan kepastian pasokan gas dalam negeri, masih sedkitnya SPBG, juga belum adanya sosialisai keamanan BBG dan belum adanya kepastian mengenai garansi mobil.
Pemerintah juga perlu mengembangkan produksi converter kit dalam negeri dengan prototipe converter kit yang telah dikaji di dalam negeri dengan standar internasional. Saat ini, ITB, UGM, dan beberapa universitas lain telah mulai mengembangkan prototipe converter. UGM telah mengembangkannya selama tiga tahun dan masih membutuhkan tiga pengujian lagi sebelum layak produksi. Produksi converter “jalur cepat” oleh PT Dirgantara Indonesia dan beberapa BUMN lain perlu mendapatkan konfirmasi kelayakan.
Lembaga Kajian Ekonomi Pertambangan dan Energi (ReforMiner Institute) mengusulkan agar pemerintah menetapkan kebijakan harga BBM subsidi yang berfluktuasi. Tujuannya, agar APBN bebas dari masalah klasik subsidi BBM akibat gejolak harga minyak. Bahkan sebagai negara produsen minyak , Indonesia dapat menikmati keuntungan saat harga minyak naik.
Karena sudah tercantum dalam UU APBN 2012, pemerintah perlu persetujuan DPR untuk meninjau ulang kebijakan pembatasan BBM, termasuk mempertimbangkan opsi kenaikan harga premium minimal RP 500 per liter untuk menghemat anggaran dan memberikan intensif bagi BBG. Prinsipnya pembatasan konsumsi premium tidak dapat dipaksakan tanpa memberikan alternative BBG yang lebih murah, terjangkau, aman, dan layak di seluruh Indonesia.
Tentu setiap pilihan kebijakan ada konsekuensinya. Jika kenaikan harga BBM bersubsidi yang dipilih, pengaturan tetap diperlukan agar subsidi tepat sasaran. Hal ini harus disertai dengan pembenahan transportasi umum, infrastruktur, dan pengalihan dari BBM meuju bahan bakar gas.
0 comments:
Post a Comment