"menulis, berpikir, menginspirasi"
Pengantar
Divisi Kajian Sosial Politik
“Reformasi
Tak Bertuan”
Reformasi lahir dari sebuah konsekuensi kekritisan dan
prinsip yang tidak tergoyahkan sekalipun oleh ancaman kematian. Setidaknya
reformasi membutuhkan tokoh yang mengadopsi tiga hal penting komitmen,
integritas, dan konsistensi. Itulah kesimpulan sementara saya pasca membaca ringkasan
gerakan pembaharuan yang dipimpin oleh Marthin Luther pada abad ke-16 (J F S).
Tepat pada hari Kamis, 21 Mei 1998
telah menjadi puncak pendakian panjang para pejuang Reformasi Indonesia.
Ditandai oleh pengunduran diri Presiden Soeharto, demonstran yang padat merayap
menduduki Gedung MPR/DPR bersorak sorai merayakan ujung penantian panjang.
Reformasi Indonesia bisa jadi
seirama dengan apa yang diperjuangkan Marthin Luther dkk yakni memperjuangkan
gerakan pembaharuan dari ketidakserasian antara status quo dengan prinsip dan idealisme yang membara dalam bathin. Kendati
demikian tidak dapat dimungkiri bahwa ada keberbedaan yang mendasar antar
keduanya. Konteks Indonesia, penyelenggaraan negara yang dimaknai tidak lagi
sesuai dengan keadaban dan cita-cita kemerdekaan oleh mahasiswa dan masyarakat
pada masa itu dimanifestasikan dengan sebuah kemarahan yang tidak terkendali.
Celakanya, situasi instabilitas kerap dimanfaatkan segelintir orang menjadi
ajang prosesi yang tidak manusiawi.
Kurang pantas ketika kita
menyalahkan sepenuhnya perjuangan dengan warna kekerasan ini harus terjadi.
Sebab masa itu mengharuskannya demi sebuah perubahan. Lantas, bagaimana kita memandang
reformasi Indonesia yang berusia 14 tahun?
Empat belas tahun adalah waktu yang
singkat dan kerap dianggap wajar ketika Indonesia masih tetap pada kondisi
sekarang ini. Banyak kalangan membandingkan Indonesia dengan proses panjang
yang juga dialami negara sekaliber Amerika. Namun, bagi saya bukan persoalan
usia proses sebuah negara, melainkan bagaimana negara itu mendefenisikan
perjuangan menuju cita-cita Reformasi itu sendiri. Sehingga tidak wajar ketika
mereka para pejuang reformasi yang telah duduk di kursi pemerintahan berkelit
dengan alasan empat belas tahun begitu singkat untuk perubahan yang berarti.
Ada banyak kalangan menyesalkan
Reformasi Indonesia ketika melihat mereka para muda pengganti rezim tua juga
melakukan hal yang sama. Korupsi pra reformasi hanya berubah nama menjadi
korupsi pasca reformasi, perbedaannya hanya pada distribusi korupsi yang
semakin cair ke bawah. Mereka memandang sistem demokratiasi, desentraliasi, dan
depolitisasi ABRI, serta penyeimbangan kekuasaan Eksekutif, Legislatif, dan
Yudikatif hanya dari segi prosedur. Tampaknya mereka melupakan bahwa semua itu
demi terciptanya kesejahteraan dan kemakmuran bersama.
Sempat
terpikir oleh saya membandingkan gerakan pembaharuan Gereja yang diperjuangkan
Marthin Luther dkk dengan Reformasi yang diperjuangkan mahasiswa tahun 1998.
Meski dalam warna sangat jauh berbeda, tetapi esensinya relatif sama. Mengingat
kembali perjuangan Marthin Luther yang berani menentang kekeliruan-kekeliruan
sekalipun itu dilakukan oleh pemimpin besar Gereja, yakni Paus Leo pada masa
itu. Beliau punya komitmen memperjuangkan idealisme dan prinsipnya dan yang tak
kalah penting keteguhan hati dan konsistensi yang tidak pernah pudar. Inilah
gambaran kepemimpinan dan kepeloporan yang bisa kita refleksikan.
Reformasi Indonesia adalah sebuah
gerbang awal bukan akhir dari perjuangan. Masa itu telah melahirkan para tokoh
yang kita kenal sampai hari-hari ini. Mereka memiliki kekritisan dan kepintaran
luar biasa. Tapi, akan sayang sekali ketika kekritisan dan kepintaran itu tidak
diimbangi dengan komitmen, idealisme, integritas, dan konsistensi. Semoga
Indonesia menemukan pemimpinnya, hingga Reformasi Indonesia tidak lagi tak
bertuan (JFS).
“Selamat Membaca Tulisan Edisi Hari Peringatan Reformasi Indonesia teman-teman... Dan jangan lupa terus berpartisipasi menulis di blog PMK FISIP.. Salam hangat. Gbu..”
Opini
(1)
“Reformasi: Sebuah Proses”
Oleh : Sarita Kasetyanku*
Ketika
kemiskinan melanda, rakyat berteriak “harusnya pemerintah…”
Ketika ada
bencana alam, rakyat berteriak “harusnya pemerintah… “
Ketika ada
kasus dalam tubuh pemerintahan, rakyat berteriak “harusnya pemerintah…”
Ketika ada
kontroversi kedatangan Lady Gaga ke Indonesia, rakyat berteriak “harusnya
pemerintah…”
Bahkan,
ketika ada kecelakaan pesawat Sukhoi, rakyat berteriak “harusnya pemerintah…”
HEY?! Semakin lama kok seruan rakyat semakin aneh saja. Masalah
besar atau kecil langsung teriak “mana pemerintah?!”. Please deh, kalau begini
kenapa kita nggak sekalian kembali lagi ke zaman Soeharto aja, dimana segala
sesuatunya diatur pemerintah. Apa gunanya ada reformasi 1998?
Jujur saja, sebenarnya saya juga kurang paham betul tentang
reformasi 1998. Untunglah ada mesin pencari super bernama Google, sehingga saya
dapat menuliskan sedikit yang saya dapat disini. Intinya, reformasi Indonesia
pada tahun 1998 merupakan peristiwa di mana rakyat Indonesia, diwakili oleh
kaum mahasiswa, berdemonstrasi besar-besaran untuk menggulingkan pemerintahan
totaliter Soeharto. Rakyat Indonesia sudah jenuh dengan tekanan-tekanan yang
dilakukan oleh Soeharto dan pesuruhnya. Rakyat Indonesia menginginkan sebuah
perubahan menuju kebebasan individu dan perbaikan-perbaikan dalam tubuh
pemerintahan Indonesia yang sebelumnya terlalu didominasi oleh “kerabat”
Soeharto.
Menurut Surakhmad (2009), reformasi adalah sebuah proses perubahan
menuju sebuah tujuan bersama. Tujuan tersebut harus fundamental dan sesuai
dengan kepentingan berbagai pihak yang terkait. Hal inilah yang menurutku perlu
kita renungkan kembali. Reformasi sebuah proses, bukan sekadar hura-hura pada
tahun 1998 silam. Reformasi tersebut masih berlanjut hingga saat ini dan kini
aktornya adalah kita. Bukan berarti kita harus mengikuti cara mahasiswa pada
tahun 1998 (which is demo
besar-besaran buat menggulingkan presiden), tapi kita ias mulai dari diri kita
sendiri. Mulai dari diri kita sendiri.
Basi banget sih kedengarannya, tapi itu benar lho!
Kembali ke bahasan awal, saya nggak menyalahkan orang-orang yang
bergantung pada pemerintah dan akhirnya dikecewakan. Pemerintah memang
seharusnya mampu melindungi warga negaranya dari berbagai permasalahan yang
mungkin mengancam mereka, namun bukan berarti segala sesuatunya kita serahkan
pada pemerintah. Kita juga punya peran. Bahkan, peran kita lebih penting, yakni
sebagai penggerak iasa ini. Saya
seringkali geram apabila mendengar seruan-seruan ‘harusnya pemerintah begini’
atau ‘harusnya pemerintah begitu’ yang semakin lama semakin sering terdengar
dan tanpa ada solusi yang terucap. Rasanya pengen bilang ke orang-orang itu,
“wah, kayaknya kamu lebih tau deh, kenapa nggak kamu aja sekalian yang jadi
presiden?”
What I’m saying is, reformasi itu sebuah proses, bukan hanya hura-hura demonstrasi
pada tahun 1998, jadi reformasi itu masih berlangsung hingga sekarang. Kita
adalah penggerak reformasi, bukan hanya pemerintah. Jadi, sebelum nyalah-nyalahin pemerintah soal ini dan
itu, lebih baik kita melakukan apapun yang kita ias terlebih dahulu. Entah
membantu warga miskin di sekitar kita atau apapun. Jangan biarkan rasa kecewa
terhadap pemerintah menjadi hambatan bagi kita untuk melakukan perubahan.
Perubahan-perubahan yang kecil apabila dilakukan terus menerus pasti akan
menjadi sebuah perubahan besar.
Sekian pendapat saya, salam merdeka dari Indonesia! J
*Mahasiswa
Hubungan Internasional Unpad 2009
(2)
Reformasi : Perbaikan atau
Perburukan?
Oleh : Martahan Sohuturon Lumban Gaol*
Berbicara tentang reformasi
menurut saya reformasi itu sendiri mempunya definisi yaitu gerakan untuk
melakukan suatu perubahan yang tentunya perubahan dari sebuah struktur yang
kurang baik ke arah struktur yang lebih baik, ataupun dari sebuah birokrasi
yang buruk ke birokrasi yang baik.
Di indonesia sendiri istilah
reformasi sendiri mulai terkenal sejak tahun 1998, dimana pada saat itu terjadi
perubahan rezim, dari rezim soharto yang kita kenal dengan sebutan orde baru ke
orde reformasi. Terjadinya reformasi di Indonesia berawal dari pergerakan
rekan” mahasiswa pada saat itu, dimana mahasiswa pada saat itu bergerak untuk
menyerukan suara agar pak harto turun pada saat itu.
Seiiring berjalannya waktu era
reformasi pun telah berganti menjadi era demokrasi, berarti telah terjadi
perubahan dari orde baru ke era demokrasi, akan tetapi apakah reformasi yang
berlangsung sudah sesuai dengan harapan kita semua? Menurut saya reformasi yang
telah berlangsung disini adalah reformasi yang kebablasan, reformasi jauh dari
harapan kita. Justru yang kini dirasakan reformasi malah tidak membawa akibat
positif. Reformasi seakan mati suri, perubahan yang diharapkan tidak dapat
tercapai. Contohnya saja birokrasi di negara kita, birokrasi di negara kita
yang katanya telah mengalami reformasi faktanya tidak, tetap saja negara kita
terkenal dengan sistem birokrasi yang sulit dan berbelit-belit. Jadi dimanakah
efek reformasi itu dapat kita rasakan?
Jadi menurut saya ada baiknya
lah kita telaah ulang reformasi yang telah terjadi di Indonesia ini, dari
hal-hal apa saja yang telah berubah, dan apakah perubahan itiu menuju ke arah
yang lebih baik. Karena bila perubahan itu justru membuat negara kita jadi
semakin buruk ada baiknya kita kembali ke keadaan yang semula dan tidak ada
salahnya juga bila kita cocokan reformasi yang telah terjadi dengan UUD kita
apakah itu cocok atau tidak. Tetap semangat melakukan perubahan demi Indonesia
yang lebih baik. Sekian, Trimakasih. Tuhan berkati.
*Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Pemerintahan
Fisip Unpad 2008
(3)
Reformasi ala Orde Baru
Oleh
: Joshua Sibagariang*
“dengan memperhatikan
ketentuan Pasal 8 UUD 1945, dan setelah dengan sungguh-sungguh memperhatikan
pandangan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat dan Pimpinan Fraksi-Fraksi yang ada
didalamnya, saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai
Presiden Republik Indonesia, terhitung sejak saya bacakan Pernyataan ini, pada
hari ini, Kamis 21 Mei 1998”
Sepenggal kata-kata di atas merupakan kutipan pidato
pengunduran diri Soeharto sebagai Presiden RI .
21 Mei 1998 tepatnya 14 tahun yang lalu, merupakan hari yang bersejarah bagi bangsa
indonesia dimana pada saat itu bersamaan
dengan berakhirnya rezim Soeharto lahirlah sebuah era baru yang disebut sebagai
“Era Reformasi”. Sebuah rezim yang diharapkan dapat membawa Indonesia menuju kondisi
kesejahteraan yang lebih baik.
Belum lepas ingatan kita bagaimana kondisi Indonesia di masa
Soeharto yang membawa Indonesia ke masa kehancuran. Dimulai dengan krisis
ekonomi yang melanda Indonesia, ketimpangan sosial di kalangan masyarakat,
korupsi di kalangan pejabat negara dan banyak lagi masalah lain yang menimpa
negeri ini. Kondisi ini menyebabkan munculnya gerakan-gerakan demonstrasi di
penjuru negeri. Ketidakpuasan masyarakat akan sikap pemerintah mengakibatkan
munculnya arus demonstrasi besar-besaran di mulai dari pusat sampai ke
daerah-daerah. Ditengah kondisi negara yang sedang bergejolak mahasiswa mulai
turun ke jalan menuntut agar Soeharto untuk mundur dari jabatannya sebagai
presiden RI.
Sekarang setelah 14 tahun masa reformasi masih banyak
kekurangan yang dialami negeri ini. Bahkan banyak warisan dari rezim Soeharto
yang masih dibawa sampai saat ini. Kebebasan berpendapat belum sepenuhnya
didapatkan oleh semua kalangan masyarakat. Dari sisi masyarakat sendiri kita
dapat melihat bagaimana kebebasan berpendapat sering digunakan dengan cara-cara
yang kurang baik. Aksi anrkisme dimana-mana, pengerusakan, pembakaran dan banyak
lagi aksi anrkis lainnya. Ruang media dipenuhi dengan berita-berita tentang
aksi demonstrasi anarkis yang dilakukan baik oleh mahasiswa maupun ormas-ormas
yang seakan tidak sabar dan melakukan aksi kekerasan dalam menyuarakan
aspirasinya. Belum lagi tindak kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan, ketimpangan
penegakan hukum, perampasan hak-hak rakyat, dan masih banyak lagi kelemahan
pemerintah di masa ini.
Di era reformasi sekarang ini muncul banyak partai politik yang
seakan tiada hentinya menggoda rakyat dengan janji-janji politis. Kesejahteraan,
keamanan, kesamaan di bidang hukum, pendidikan murah, fasilitas kesehatan dijadikan
sebagai bahan kampanye oleh para politisi. Meskipun kebanyakan janji tersebut
bagai hilang ditelan bumi. Kepentingan pribadi dan golongan menjadi prioritas
utama bagi para politisi yang pada akhirnya malah membawa kerugian bagi negara.
Mereka seakan menumbuhsuburkan budaya korupsi dan money politic di negeri ini
.
Kondisi ini seakan membawa kita kembali ke masa orde baru
dimana korupsi tumbuh subur dan menjadi lahan empuk bagi para politisi untuk
melakukan tindakan korupsi. Dan yang lebih menyakitkan
lagi adalah ketika para mantan aktivis mahasiswa yang dulu dengan lantang
menuntut reformasi sekarang malah berbalik melakukan tindakan korupsi. Para aktivis 1998
yang sekarang duduk di kursi-kursi empuk di pemerintahan seakan menelan
ludahnya sendiri. Dulu menolak tapi sekarang malah ikut melakukan tindakan
korupsi.
Reformasi sesungguhnya merupakan suatu gerakan besar yang
dapat mendorong negara ini ke arah yang lebih baik. Sebuah gerakan besar yang
dulu pernah digunakan untuk menjatuhkan rezim orde baru seharusnya mampu membawa negeri ini ke arah yang lebih baik. Sepertinya
negara ini kehilangan konsep tentang bagaimana reformasi ini berjalan pasca
orde baru sehingga kesalahan-kesalahan di masa orde baru seperti terulang
kembali.
Mahasiswa sebagai kaum intelektual juga dituntut untuk mampu
memikirkan konsep negara ini di masa mendatang dan jangan lagi mewarisi budaya
korupsi. Dan seperti kita ketahui bersama negara kita memiliki banyak politisi
namun minim sosok negarawan yang rela berkorban bagi bangsa dan negaranya. Jadilah
mahasiswa yang peduli sekitar dan kelak jadilah seorang negarawan.
Selamat Hari Reformasi..!!
*Penulis adalah Mahasiswa Administrasi
Bisnis Fisip Unpad 2010
0 comments:
Post a Comment