Pengantar Divisi Kajian Sosial Politik
“Beranjak dari Titik Nol”
Habis Gelap Terbitlah Terang!!! Mungkin kalimat ini sangatlah sederhana dan hanya sekedar keniscayaan rotasi bumi yang biasa kita alami setiap hari. Nyatanya makna tulisan sang pejuang wanita itu tak sesederhana kalimatnya. Beliau dengan harapan tercapainya kesamaan hak antara laki-laki dan perempuan, telah mendeklarasikan sebuah perjuangan mendobrak “titik nol” perempuan Indonesia.
R.A. Kartini, nama dari seorang keturunan ningrat yang setiap tanggal 21 April telah menjadi ramai dirayakan dan didiskusikan. Banyak kalangan menjadikan perjuangannya sebagai simbol lepasnya perempuan dari ketidakadilan dan ketertindasan oleh filosofi dan konstruksi berpikir yang telah membudaya. Mengenyam pendidikan, menjadi pemimpin, diakui, dan dihargai dalam kehidupan domestik maupun bermasyarakat merupakan isu strategis yang beliau angkat. Dan tentunya bukan sebuah perjuangan yang mudah bagi beliau di tengah-tengah tantangan ketidakpopuleran isu yang diperjuangakannya.
Lantas, apakah yang terjadi dewasa ini sudah mencerminkan perjuangannya? Beberapa dari mereka, para perempuan yang sudah melewati “titik nol” ada yang berkata “sudah”. Di sisi lain para aktivis perempuan masih merasa “belum”, mengingat masih banyak perempuan Indonesia yang menjadi tak berdaya dan sulit mengakses hak-haknya. Bahkan masih banyak yang tidak menyadari ketertindasan yang dialaminya dan merasa bahwa “pasrah” adalah pilihan yang terbaik.
Perjuangan belum selesai
R.A Kartini disebut-sebut sebagai pelopor “emansipasi wanita”. Artinya kepeloporan beliau juga mengindikasikan suatu kebutuhan akan keberlanjutan. Menyambung perjuangan beliau sama halnya dengan berada pada garda depan mengawal keadilan dan anti keberpihakan.
“Betapapun suksesnya seorang pelacur, dia tidak pernah dapat mengenal semua laki-laki. Akan tetapi, semua lelaki yang saya kenal, tiap orang diantara mereka, telah mengobarkan dalam hati saya hanya satu hasrat saja : untuk mengangkat tangan saya dan menghantamkannya ke muka mereka. Akan tetapi, karena saya adalah seorang perempuan, saya tidak memiliki keberanian untuk melakukannya. Dan karena saya seorang pelacur, saya sembunyikan rasa takut saya di bawah lapis-lapis solekan muka saya.”, demikian sepatah kalimat dari novel Nawal el-Saadawi tentang posisi perempuan-perempuan Mesir yang sangat jauh dari keadilan. Bila hari-hari ini di Indonesia masih ada ketakutan-ketakutan untuk memperjuangkan hak dan melindungi kehidupannya hanya dikarenakan dia adalah seorang perempuan sudah barang tentu ada sesuatu yang bergeser dari semangat perjuangan yang telah Kartini tebarkan.
Data KDRT dan traficking dengan korban perempuan yang semakin meningkat. Seperti halnya yang dilansir Komisi Nasional Anti Kekerasan bahwa sedikitnya terdapat 400.939 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan sepanjang tahun 1998 hingga 2011. Dari jumlah itu, 93.960 kasus diantaranya merupakan kekerasan seksual dan kasus perkosaan menempati jumlah terbanyak yaitu 4.845 kasus. Di sisi lain, banyak dari para perempuan yang memilih menjadi perempuan yang nerimo akan poligami dikarenakan alasan kepatuhan pada suami. Juga masih marak pandangan aneh dan tidak normatif akan pemimpin-pemimpin perempuan yang berhasil memimpin dengan kemampuan yang dimilikinya. Dan, pola pikir yang menjadikan perempuan seolah-olah yang paling bertanggungjawab menjaga moral masyarakat (UU Pornografi). Itu semua adalah isu hangat yang kerap diangkat. Dimana posisi kita, sepakat atau tidak? Berpikir keras akan semua ini adalah amanah sebagai “anak Tuhan” yang sepatutnya ada dan siap berpikir akan semua realitas sosial.
Terus menyalahkan keadaan bukanlah solusi. Karena perlu ada kartini-kartini yang baru yang siap melanjutkan perjuangan menjadikan perempuan pada posisinya yang sama berharganya dengan laki-laki. Karena sekali lagi Tuhan tidak menciptakan perempuan dari tulang kaki laki-laki, tapi dari tulang rusuk yang kita bisa maknai sebagai sebuah filosofi untuk merefleksikan perjuangan yang dilakukan R.A Kartini. (JFS)
“Selamat Membaca Tulisan Edisi Hari Kartini teman-teman... Dan jangan lupa lihat pendapat-pendapat teman-teman kita tentang Perjuangan R.A Kartini ya... Salam hangat. Gbu..”
Opini
(1)
“Menyeimbangkan Peran”
Oleh : Roslia Simatupang*
Pada tanggal 2 Mei 1964, Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964, yang menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan hari lahir Kartini sebagai hari besar yang kemudian dikenal sebagai Hari Kartini. Kepopuleran R.A Kartini sebagai penggerak emansipasi wanita Indonesia mungkin terjadi akibat propaganda ormativ Belanda. Meski tercium kontroversi dari beberapa kalangan mengenai kebenaran surat-suratnya, namun dampak dari ide wanita kesohor asal Jepara, kelahiran 21 April 1879 ini, sampai sekarang masih membekas di benak setiap wanita Indonesia.
Buku karyanya yang berjudul “Habis Gelap terbitlah Terang” membawa wanita Indonesia ke dalam sebuah situasi dimana ada tanggungjawab besar yang harus di pikul. Lantas, masihkah “Terang” itu nyata?
Kata “Terang” mewakili kebebasan para wanita untuk berkarya positif tanpa sekat yang membatasi ruang geraknya. Berbagai pekerjaan mulai dari pegawai negeri, dokter, direktur, ormativ, pengacara, menteri bahkan sampai jabatan presiden tidak lagi hal yang biasa jika diperankan oleh wanita. Tidak ada lagi batasan untuk memahami dunia luar. Hal ini mengindikasikan bahwa “Terang” itu semakin benderang.
Di era modern sekarang ini, para wanita berlomba-lomba mencapai puncak tertinggi suatu kedudukan dan kekuasaan. Tidak sedikit wanita Indonesia yang giat mempelajari dan mengerti kondisi bangsa ini dari berbagai aspek. Lalu bagaimana pandangan Kartini masa kini tentang profesi ibu rumah tangga, yang sederhananya hanya mengurusi pekerjaan rumah, mengurus anak dan mengurus suami?
Secara ormative setiap wanita yang sudah menikah berprofesi sebagai Ibu rumah tangga. Adalah peran yang tidak tergantikan ketika seorang Ibu mengasuh anaknya dan seorang isteri mengurus suaminya. Karakter seorang anak merupakan hasil dari sejarah panjang interaksinya dengan Ibu. Seperti pepatah mengatakan “Ayah mendidik, Ibu mengasuh dan mengasihi”. Didikan itu keras, karena itu asuhan dan kasih adalah rangkaian yang tidak terpisahkan. Demikian halnya dengan suami, Mario Teguh dengan pemikiran emasnya, “Dibalik suami yang hebat ada isteri yang jauh lebih hebat”. Lalu, ada siapa dibalik suami yang “x”, “y” dan berbagai karakter lainnya?
Peran sebagai Ibu rumah tangga tidak serta merta membatasi para wanita untuk tetap berkarya di luar rumah. Mandat emansipasi merupakan konsistensi yang layak di pegang teguh. Pemimpin-pemimpin berkarakter adalah karya yang besar. Kartini yang hebat melahirkan pemimpin yang hebat.
*Penulis adalah mahasiswa Kesejahterahan Sosial 2009
(2)
“Kartini Muda”
Oleh : Yenglis Dongche Damanik*
Berawal dari sepucuk surat yang ditulis oleh Raden Ajeng Kartini, sebuah pergerakan baru dimulai. Dalam suratnya, kartini menuliskan pemikiran-pemikirannya mengenai kondisi sosial saat itu di Indonesia khususnya tentang wanita jawa saat itu yang hidup dalam kungkungan adat yang kuat. Wanita harus patuh adat, tidak dapat menikmati pendidikan, dipingit, dinikahkan dengan lelaki yang bahkan yang tidak dikenal sebelumnya dan harus siap di madu.
Agama harus menjaga kita daripada berbuat dosa, tetapi berapa banyaknya dosa diperbuat orang atas nama agama itu...ini adalah sepenggal dari isi surat Kartini yang dengan tegas menyatakan ketidaksepakatannya dengan penyalahgunaan agama pada saat itu. Kartini mempertanyakan tentang agama yang dijadikan pembenaran bagi kaum laki-laki untuk berpoligami. Bagi Kartini, lengkap sudah penderitaan perempuan Jawa yang dunianya hanya sebatas tembok rumah. Berangkat dari hal itu, Kartini mengungkapkan keinginannya untuk menjadi seperti wanita muda Eropa, yang bebas dari kungkungan adat, menikmati pendidikan dan bahkan tanpa pingitan dan paksaan untuk menikah.
Melalui perjuangan Kartini yang sangat gigih memperjuangkan nasib kaum wanita, sekarang kita wanita Indonesia dapat menikmati kebebasan itu. Banyak wanita-wanita sekarang yang sukses dan tidak sedikit yang menjadi pemimpin. Megawati Sukarno Putri dan Sri Mulyani adalah dua contoh wanita sukses yang telah menjadi pemimpin wanita di negeri ini. Hal ini telah membuktikan bahwa perjuangan Kartini sudah berbuah manis dan kita telah mengecap manisnya. Tentu saja kita sebagai wanita Indonesia yang merdeka juga telah merasakan hal tersebut.
Ironisnya, walaupun perjuangan Kartini telah berhasil dan sudah banyak hal yang membuktikan bahwa wanita itu bisa dan mampu serta layak mendapat perlakuan yang sama seperti lelaki, namun masih banyak wanita-wanita Indonesia yang diperlakukan secara tidak manusiawi. Begitu banyak wanita-wanita Indonesia yang bekerja sebagai TKI ditindas dan dianiaya. Mereka terpaksa harus menggantungkan nasibnya di negeri jiran karena minimnya lapangan pekerjaan di negeri ini. Mengalami luka-luka, dijadikan budak seks dan tidak sedikit yang meninggal dunia menjadi biasa bagi mereka. Hal ini tentu bertolak belakang dengan apa yang telah dicita-citakan oleh Kartini. Disatu sisi, wanita telah merdeka dan dapat berkarya sebagai Kartini-kartini muda, tetapi disisi lain kita harus menyaksikan bahwa masih banyak saudari-saudari kita yang belum merdeka seperti kita. Mereka dijajah dengan imperialisme gaya baru.
Yang lebih menyakitkan lagi adalah bahwa pemerintah kita tidak mampu bertindak tegas dalam mengatasi permasalahan tersebut. Sampai detik ini pemerintah belum mengambil langkah riil dalam menghadapi permasalahan ini. Begitu banyak wanita Indonesia yang telah jadi korban dan apakah kita juga hanya bisa diam saja? Apakah kita akan tetap berpangku tangan sama seperti yang dilakukan oleh pemerintah kita?
Lalu sebagai seorang wanita, apa yang kita perbuat sekarang? Apakah kita hanya ikut bertepuk tangan ketika Kartini berhasil menghancurkan sekat yang membatasi kebebasan laki-laki dan perempuan? Dan hanya bisa ikut menangis menyaksikan saudari-saudari kita ditindas dengan kasar? Apakah kita sepakat jika wanita itu identik dengan 3 UR (dapur , sumur, kasur)? Tentu tidak!! Jika demikian apa yang dapat kita lakukan sebagai Kartini-kartini muda?
(3)
Mengapa Harus Kartini?
Oleh: Radela Avelonda. R*
. “...Singkat dan pendek saja, bahwa saya tiada hendak mempergunakan kesempatan itu lagi, karena saya sudah akan kawin...”
Raden Adjeng Kartini
Tanggal 21 April biasanya dirayakan sebagai momentum emansipasi wanita, dimana kita bisa mengenal sosok kartini lebih dekat. Lantas, mengapa harus Kartini?
Sebagai Nasionalis yang menginspirasi wanita-wanita di Indonesia perjuangan Kartini bukan tanpa aral. Banyak niat dan keinginannya yang tidak terwujud ataupun berbelok dari apa yang diharapkannya. Salah satunya adalah statusnya yang sudah menikah, membawanya kepada kenyataan yang tidak memungkinkannya melanjutkan studi menjadi guru di Betawi. Mungkin dari sisi ini kita melihat bahwa Kartini adalah sosok yang mudah menyerah dan putus asa. Namun mari kita lihat lebih dalam lagi.
Hal pertama yang dapat kita teladani adalah bagaimana Kartini membangun pergaulan yang luas serta menumbuhkan pemikirannya yang luas. Karena Kartini ymb berbahasa Belanda, maka di rumah ia mulai belajar sendiri dan menulis surat kepada teman-teman korespondensi yang berasal dari Belanda. Salah satunya adalah Rosa Abendanon yang banyak mendukungnya. Dari buku-buku, ymbo, dan majalah Eropa, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa.
Kedua adalah sifatnya yang simpatik terhadap keadaan sekitarnya. Timbul keinginannya untuk memajukan perempuan pribumi, karena ia melihat bahwa perempuan pribumi berada pada status ymbol yang rendah.
Hal ketiga yang harus kita teladani adalah tindakan sebagai wujud simpatinya. Kartini pun kemudian beberapa kali mengirimkan tulisannya dan dimuat di De Hollandsche Lelie. Dari surat-suratnya tampak Kartini membaca apa saja dengan penuh perhatian, sambil membuat catatan-catatan. Kadang-kadang Kartini menyebut salah satu karangan atau mengutip beberapa kalimat. Perhatiannya tidak hanya semata-mata soal emansipasi wanita, tapi juga masalah ymbol umum. Kartini melihat perjuangan wanita agar memperoleh kebebasan, otonomi dan persamaan ymbo sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas.
Yang ke-empat adalah sifatnya yang gigih. Berkat kegigihannya Kartini, kemudian didirikan Sekolah Wanita oleh Yayasan Kartini di Semarang pada 1912, dan kemudian di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya. Nama sekolah tersebut adalah “Sekolah Kartini”.
Menurut saya hal-hal tersebut sudah dapat menjelaskan mengapa harus Kartini yang diperingati sebagai ymbol emansipasi wanita. Melihat pada keadaan Indonesia saat ini, bagaimana semua orang “mau enak sendiri”. Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dimana-mana. Hukum yang dapat dibeli dengan uang. Pemerintah tidak lagi menjalankan perannya dengan jujur. Terlalu banyak kebobrokan yang terjadi di Indonesia. Apa yang Kartini lakukan rasanya lebih “jantan” daripada seorang pria. Walaupun dewasa ini bahkan emansipasi wanita pun bukan lagi untuk meningkatkan harkat dan martabat wanita. Apa yang sudah Kartini perjuangkan seolah tidak ada artinya lagi dimata para wanita yang turut serta dalam kebobrokan yang terjadi. Kemanakah Kartini-Kartini Indonesia? Mari bangkitkan lagi semangat perjuangan Kartini!
*Penulis adalah mahasiswa Administrasi Bisnis 2011
(4)
Perempuan di Diskriminasi (?)
Oleh : Raja Haposan Pasaribu*
Ketika UU Pornografi yang disahkan Oktober 2008 menuai kritik karena dalam praktik menempatkan perempuan sebagai pelaku, sementara meluputkan pelaku bisnis dan pengguna jasa pornografi. Begitupun dengan kehadiran Satgas Pornografi awal tahun ini sebagai amanat UU Pornografi juga menuai protes pembela hak-hak perempuan karena kekhawatiran sama.
Masih segar dalam ingatan kita saat kasus penganiayaan Sumiati binti Salan Mustapa (23), TKI asal Dompu, Nusa Tenggara Barat, terungkap awal November 2011. Kasus penganiayaan oleh majikan sampai digunting bibirnya ini mencuat saat Sumiati dirujuk ke Rumah Sakit Raja Fahd di Madinah, Arab Saudi. Pihak rumah sakit menginformasikan hal ini kepada pejabat Konsulat Jendral RI di Jeddah.
Walaupun pemerintah Arab Saudi menyatakan bahwa penganiaya Sumiati akan mendapat hukuman setimpal, faktanya hakim memvonisnya tiga tahun penjara. Pemerintah Indonesia hanya bisa memprotes. Pengguna jasa bisa saja berkilah, penganiayaan terjadi karena tidak puas dengan kemampuan TKI PRT yang tidak sesuai dengan janji agen pekerja asing.
Bagaimana mungkin hal ini bisa terjadi saat pemerintah terus membanggakan peranan sedikitnya 6 juta TKI yang mengirim devisa 7,1 miliar dollar AS tahun 2010? Sungguh mereka yang mendapat amanat rakyat mengurus soal perekrutan, pelatihan, penempatan, dan perlindungan TKI dari sudut pandang komiditas semata.
Berdasarkan data Indeks Pembangunan Manusia 2011, UNDP Perserikatan Bangsa-Bangsa menyebutkan bahwa perbandingan perempuan : laki-laki di parlemen adalah 0,220 dan Indeks ketidaksetaraan Jender adalah 0,505. Ini tentu merupakan suati bukti konkret betapa ketimpangan yang begitu hebat terjadi di republik ini.
Semua dimulai dari membongkar pemahaman dan menumbuhkan kesadaran kritis bahwa perempuan dilahirkan dan dibesarkan dalam konstruksi sosial yang meminggirkan perempuan. Tanpa kesadaran kritis kemandirian ekonomi hanya akan digunakan untuk sekolah tinggi, tidak untuk membangun sekolah untuk membebaskan perempuan seperti yang dilakukan Kartini dengan kesadaran kritisnya. Jayalah Perempuan Indonesia. Selamah Hari Kartini!
*Penulis adalah mahasiswa Administrasi Negara 2010
Jajak Pendapat
“Ini pendapatku, apa pendapatmu?”
Edisi Hari Kartini, 21 April
àBagaimana tanggapan Anda tatkala mengingat perjuangan R.A Kartini dan melihat kondisi hari-hari ini?
Lamria: “Kalo menurutku sih hari kartini itu pasti identik dgn emansipasi, tapi wanita jarang mngerti akan emansipasi yang seperti apa yangg mereka inginkan.wkwk..
Rama Sandi Saragih: “Singkatnya ada kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan. Hehehhe .. menurut aku perjuangan Kartini sudah tercapai sih, buktinya udah banyak wanita dapat mengemukakan pendapatnya dan juga dalam hal berpolitik, memperoleh pendidikan. bahkan udah ada yg menjadi pemimpin negara”.
Wido: “Menurut aku wanita indonesia masih kurang berkontribusi di indonesia. Hal ini yang membuat timbulnya isu bahwa wanita selalu dianak-tirikan padahal sebenarnya tidak ada yang membatasi wanita berkarya di kancah politik ataupun di sektor lain di indonesia. Peran menteri pemberdayaan wanita juga menurut aku kurang merangkul wanita-wanita di indonesia . Sekian.
Destriani Tambunan : “Emansipasi wanita.. Dimana dengan adanya perjuangan kartini, membuat kaum wanita di indonesia bisa mengutarakan pendapatnya dengan bebas dan juga wanita dapat bersaing dengan pria tanpa melihat lagi gender. wanita bisa dengan bebas melakukan pekerjaan yg pria bisa lakukan dan ditambah lagi di dunia politik perempuan bisa ikut berkontribusi yg dulu hal tersebut hanya boleh dilakukan oleh kaum pria. jd perempuan tidak hanya sebatas d rumah dan menjaga anak saja tapi bisa berkarier dan berkompetisi dengan pria tanpa lg melihat gender. meskipun kadangkala masih saja terdapat pihak2 yg melihat gender dalam rekruitment pekerjaan atau posisi”.
Ririn Elida Magabe Sitompul : “Kartini.. apa ya? Kalo menurutku , sekarang Kartini udah ga terlalu dipeduliin lagi, walaupun dirayakan hanya sebagai rutinitas aja.
Secara pribadi yang aku tau Hari Kartini itu adalah hari memperingati bangkitnya emansipasi wanita yang diprakarsai oleh R.A. Kartini. Tapi, hanya sebagian orang yang benar-benar paham tentang hal ini. Banyak perempuan yang ga lagi menghargai diri sendiri, merusak diri.
Kasian kan ya Bu Kartini. Ya itu, karena mereka udah ga tau dan udah lupa ama ibu kartini itu. Perempuan sekarang kebanyakan menggampangkan perannya sebagai perempuan. Malah perempuan sendiri yang membuat perempuan ga dihargai. Peranan perempuan ada banyak loh, bidang perempuan, kesehatan , pendidikan, kesejahteraan... banyak juga yang berkecimpung di dunia tersebut. Tapi kebanyakan, itu tertutupi oleh kelakuakn perempuan yang ga bener.”
Martela Rivera Roidatua Sirait: “Simpel sih, ingat Kartini ingat emansipasi. Keberanian seorang wanita untuk maju di tengah-tengah kuasa kaum pria. Perjuangan Kartini menggebrak stigma tentang sosok wanita layaknya di lagu "Sabda Alam" dan bisa dilihat hari-hari ini bahwa sudah lumayan banyak yang berani eksis dalam kancah publik bersanding dengan pria. Namun, menurutku emansipasi tidak akan pernah sampai pada tataran persamaan kodrat, karena nyatanya agama dan budaya secara dominan masih menempatkan "perempuan harus tunduk kepada laki-laki". Ini juga yang pasti selalu ada di benak setiap laki-laki kan?”
Frinsoni: “Kalau mengingat perjuangan kartini, yang terbersit dipikiranku adalah perjuangan di tengah kesulitan.. Kartini itu berjuang dari sudut pandang dia sebagai perempuan seutuhnya, bukan perjuangan pribadinya. Hal inilah yang semakin lama semakin hilang dari perempuan-perempuan indonesia yang kalau berjuang bukan lagi sebagai perempuan seutuhnya melainkan berjuang dari sudut pandang sebagian perempuan saja”.
Marcius Sarumaha: ”Sering diperingati hanya untuk mengenang sosok Ibu Kartini yang memperjuangkan hak wanita, tetapi tidak memaknai dan tidak ada tindak nyata terhadap perjuangan hak wanita. Dapat terlihat dalam KDRT masih banyak wanita yang dijadikan sebagai korban emosi para pria. Padahal si istri sebaiknya dilindungi. Hari kartini setidaknya menyadarkan pemerintah dan kita akan perjuangan hak wanita. Memang wanita ada di bawah pria, tetapi segi posisi dalam rumah tangga saja, tidak sama halnya dengan hak. Melalui Hari Kartini sebaiknya peran wanita harus ditumbuhkembangkan di semua bidang. Akan tetapi, posisi dari wanita jangan melebihi posisi pria. Karena, pada kodratnya wanita layak dipimpin, dituntun, dan dilindungi oleh pria. Itu sejak dari nabi Adam. Tetapi, itu bukan berarti pria harus menginjak-injak hak wanita, melainkan dihormati”.
Jeremia Christovel: “Kalo menurutku hari kartini sih cuma sekedar seremonial aja,bahkan mungkin banyak kaum perempuan gak tau kapan itu..namun samaku kartini zaman dulu itu sosok yg rajin berjuang lewat tulisan walaupun dirinya berasal dari keluarga ningrat,sangat kontradiktif sama "kartini" sekarang.. Beda zaman kali yaa”.
Riyanti T.G : “Menurut saya, dibandingkan dengan zaman sebelum R.A Kartini, perempuan masa kini sudah jauh lebih bebas, dalam artian perempuan mendapat ruang berekspresi dan mengembangkan diri yang sebelumnya ruang itu sangat terbatas. Sekarang perempuan memiliki hak yang sama dengan pria dalam hal pendidikan, pekerjaan, dan mengeluarkan pendapat. Bahkan menjadi presiden sekalipun. Jadi, perjuangan kartini itu tidaklah sia-sia. Selamat hari Kartini.
àApa kata teman-teman PMK Misiologi pas PeeF Gabungan tentang hal ini?
Yosephine, Shella, Hana (Statistika): “Perempuan masa sekarang kurang menghargai perjuangan Kartini yang telah mengangkat martabat para wanita.”
Ezra Girsang (Statistika) : “Baik-baik saja, bahkan lebih baik karena hari-hari sekarang semakin banyak wanita yang jadi pemimpin.”
Laura Natalia (Farmasi) : “Hari-hari belakangan ini, yang saya perhatikan mengingat perjuangan Kartini adalah wanita-wanita sudah lebih bisa mengeksplorasi, berkreasi, dapat hak memilih dan dipilih, dapat bekerja sesuai bakat, minat, dan kemampuan. Perempuan lebih bebas/leluasa berkarya.”
Noname : “Saat ini sudah sangat berbeda dengan zaman R.A Kartini. Saat ini sudah tidak ada lagi perbedaan gender dalam pekerjaan dan hal-hal lain.
Lenny M. D Pakpahan (Matematika) : “Perjuangan Kartini di masa lalu tidaklah sia-sia. Hingga hari ini emansipasi yang diperjuangkan masih terjaga sampai sekarang ini.
0 comments:
Post a Comment