REALEASE
TALKSHOW PMK FISIP UNPAD
“Are
You Indoensian?”
Ketika Budaya Tak Lagi
Berdaya
Tepat 26 Mei 2012, PMK FISIP UNPAD menggelar talkshow
bertemakan “Are You Indonesian”, Ketika
budaya Tak Lagi Berdaya. Acara perdana ini dihadiri oleh sekitar 250 orang
termasuk pengisi acara dan panitia. Talkshow yang dipandu oleh Pangeran Siahaan
(Chief Writer Provocative Proactive, Metro TV) sebagai moderator menghadirkan
Ratna Sarumpaet, Remy Sylado, Dede Mulyanto, dan Adam Ardisasmita sebagai
pembicara.
Dalam kesempatan pertama Ratna Sarumpaet mengawali
perbicangan dengan mengajak peserta untuk tidak selalu memandang budaya sebagai
sesuatu yang konkrit saja yakni karya seni, melainkan lebih dari itu kita juga harus
memperhitungkan nilai-nilai budaya yang merasuk di dalamnya. Pernyataan ini
disambut baik oleh Dede Mulyanto dengan menekankan kembali bahwa serangkaian
nilai itulah yang sesungguhnya sedang mewujudrupa dalam sebuah karya seni.
Disadari atau tidak, ada banyak hal dari budaya bangsa
kita yang sengaja direduksi oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Ratna
Sarumpaet mencoba mengangkat kasus-kasus intoleransi umat beragama yang masih
marak di kalangan masyarakat. Intoleransi pada dasarnya bukanlah konstruksi budaya
bangsa. “Apa yang kita lihat hari-hari
ini dengan munculnya ormas-ormas berjubah agama tidak lebih dari rangkaian
konspirasi yang dilakukan pemerintah”, jawabnya tegas sambil menyinggung peranan ormas-ormas yang kerap berlakon anarkis.
Berkaitan dengan korupsi dan sikap konsumtif yang kerap
diidentikkan dengan budaya bangsa, Ratna lantas sangat menentang pelekatan
istilah budaya untuk keduanya. “Bagi saya
korupsi lebih tepat disebut sebagai kejahatan yang dibiarkan berjalan secara
berlarut-larut”, ungkapnya. Di sisi lain,
Dede Mulyanto menambahkan bahwa sikap konsumtif yang diidentikkan dengan
bangsa kita lebih tepat kita sebut sebagai sterotipe.
“Itu hanya stereotipe saja yang
diciptakan berdasarkan cara pandang kita sendiri dengan tidak menelusuri secara
mendalam. Lama-kelamaan stereotipe inilah yang berkembang menjadi sebuah stigma
di dalam komunitas kita”, katanya saat menyambut pertanyaan Pangeran
Siahaan.
Menghindari tercerabutnya nilai budaya bangsa di kalangan
masyarakat sudah barang tentu tidak lepas dari tugas dan peranan negara. Celakanya dalam
beberapa kasus pemerintah justru tidak mampu menggunakan pendekatan budaya
dalam menangani serangkaian konflik di dalam negara. Kasus Aceh misalnya,
seharusnya bukanlah persoalan sulit ketika pemerintah mampu mengidentifikasi
masalah dan memilih pendekatan budaya. “Sekarang
kan sudah jelas apa yang Aceh inginkan”, katanya sambil menggali kembali
memorinya saat menyampaikan pidato kebudayaan di Aceh pada masa itu.
Saat ditanyakan tentang imperialisme budaya, Ratna justru
menganjurkan peserta agar tidak terlalu khawatir dengan budaya asing yang masuk
ke negeri kita, yang penting hari ini adalah bagaimana memperkokoh pondasi
budaya bangsa. Ketika pondasinya sudah kuat, kita tidak perlu sibuk dengan
urusan claim dan imperialisme budaya.
“Saya lebih senang mengajak kita untuk
mengembalikan budaya kesolidaritasan kita untuk tidak membiarkan saudara
sebangsa kita mengalami penindasan, saya rasa itu poin pentingnya”, ujarnya
disambut tepuk tangan dari para peserta.
Saat salah seorang mahasiswa memberikan tanggapan bahwa
seharusnya kita juga tidak melulu menyalahkan pemerintah. Bahwa sebelum
mengkritik, sepatutnya mengoreksi diri sendiri terlebih dahulu, Ratna pun
memberikan tanggapannya. “Pada prinsipnya
kita juga harus koreksi diri sendiri, tapi jangan lupa mengkritik pemerintah. Sibuk
mengoreksi diri sendiri, ntar keburu mati tu anak orang”, jawabnya dengan nada lantang.
Tidak kalah menarik, Remy Syladopun memberikan
tanggapan-tanggapan atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Pangeran
Siahaan. Dengan mengingatkan kembali arti dan asal nama Indonesia yang lantas menggambarkan bahwa budaya bangsa kita lahir
setelah terjadinya akulturasi budaya, beliau sedang memulai perbincangan dan
perdebatan bathin bagi para pendengarnya. Masuknya budaya asing ke Indonesia, seharusnya
dipandang sebagai sebuah proses yang akan mendewasakan kebudayaan kita. Jangan
pernah melupakan bahwa budaya Indonesia juga terbentuk oleh akulturasi antar
budaya.
Remy pun mengajak kita bercermin sejenak, bahwa bangsa
kita memang masih menyimpan banyak kelemahan. Memilih berdebat dan mengeluhkan
budaya asing yang mengkampanyekan wujudnya ke negara kita tidak akan membangun
kita. “Toh, dari ujung kepala sampai kaki
kita, tidak terlepas dari pengaruh budaya asing. Sekarang pokok persoalannya
adalah bagaimana kita bisa mengkonsepsikan hasil-hasil kebudayaan kita. Jangan
sibuk berdebat budaya kita direbut asing, kita dijajah asing, tetapi fokus lah
bagaimana menciptakan hasil budi dan daya yang kompetitif di kalangan global”,
ujarnya sembari menyebutkan satu per satu kata dalam bahasa Indonesia yang
diserap dari bahasa asing.
Kekalahan bangsa kita hari-hari ini juga tidak terlepas
dari kebiasaan kita yang lebih senang merasa daripada berpikir. “Kita kan lebih suka merasa ketimbang
berpikir. Saya ambil contoh, dalam berpendapat kita mengawalinya dengan saya
rasa... bukan saya pikir.. yang merupakan kebiasaan orang inggris (I think).
Contoh lain, Observer di Indonesia di sebut pemerhati, be carefull di
Indonesia hati-hati, dan
lain-lain yang menunjukkan kita lebih senang merasa dan menggunakan hati dari
pada pikiran”, ujarnya sembari mengumbar tawa yang khas.
Untuk penggunaan bahasa asing, Remy tidak tertarik untuk
melarang. “Saya kira mengerti bahasa
asing itu penting. Yang saya tidak
senang, banyak orang justru menggabungkan bahasa asing dengan bahasa Indonesia,
misalnya so what gitu loh, ha ha. Itu dia yang kampungan” jawabnya diiringi
sambutan tawa para peserta.
Lantas, dimana mahasiswa dan generasi muda saat ini?
Apakah generasi muda sudah berkontribusi untuk melestarikan budaya bangsa
Indonesia? Pembicara keempat, Adam Ardisasmita seorang mahasiswa ITB dan CEO
Arsanesia memberikan jawaban seputar pertanyaan ini.
Adam Ardisasmita adalah salah satu pendiri perusahaan
game yang dirintisnya bersama rekan sejurusannya. Menelusuri pasar dunia dengan
produk game-game mobile yang bertemakan kebudayaan Indonesia adalah kekhasan
yang mereka miliki. Tidak tanggung-tanggung, game mobile ini telah diunduh
sampai ke beberapa negara di dunia, dan terbanyak diminati di Turki dan Jerman.
Pasalnya, dalam pembuatan game ini ada banyak tanggapan miring yang meragukan
kepopuleran game ini di pasar Indonesia apalagi dunia. Tapi dengan tekad dan
motivasi tinggi akhirnya game ini justru mendapat penghargaan dan sanjungan
dari pengunduh dan juga salah satu perusahaan telepon genggam ternama.
Di saat banyak orang meragukan popularitas pasar game
bertema kebudayaan, tapi Adam dan rekan-rekannya di Arsanesia tetap bertahan
dengan konsepnya. Tentunya ini tidak terlepas dari dorongan dan prinsip dari
generasi muda ini. “Bila ingin sedikit
berbagi, kami melihat anak-anak Indonesia termasuk saya dulunya lebih sering
disuguhi dengan cerita-cerita dari luar negeri yang dikemas dengan sangat
menarik. Kami rasa inilah yang menjadikan generasi muda tidak mengenal
kebudayaan yang ada di negeri sendiri”, ungkapnya. Kesalahannya terletak pada
kurangnya media yang bisa mengkomunikasikan kebudayaan kepada anak-anak bangsa.
Khususnya media kontemporer yang diminati dan lebih dekat dengan dunia mereka. Inilah
yang mendorong Arsanesia memilih media digital untuk mengkampanyekan kembali
budaya Indonesia pada anak-anak bangsa secara khusus dan pada dunia pada
umumnya.
Saat ditanyakan mengenai tantangan generasi muda yang
memperjuangkan pelestarian kebudayaan Indonesia, Adam menjawab bahwa bangsa ini
masih kurang dalam apresiasi karya. “Masih
bayak yang harus diperbaiki dari bangsa kita terkait apresiasi. Ada banyak yang
berjuang mempertahankan budaya Indonesia dengan cara mereka masing-masing,
tetapi tidak banyak yang mengapresiasinya. Saya kasih contoh, game dari Arsanesia sudah diunduh sampai ke luar
negeri, ironisnya pengunduh dari luar negeri jauh lebih banyak dibanding dari
negeri sendiri”, ujarnya sambil tersenyum.
Pertunjukan bicang-bincang inipun diiringi dengan respon
positif peserta. Para pembicara idaman mereka menyampaikan argumentasinya
menjadi nilai jual tersendiri yang memukau para peserta. Talkshow ini didukung
oleh para pengisi acara yakni Teatrikal GMKI Sumedang, Padjajava, Karinding
Merinding, dan Society. (JFS) (Div.
Materi)
0 comments:
Post a Comment