“Menulis, berpikir, menginspirasi”
Pengantar Divisi Kajian Sosial Politik
Zamanpun Mendukungmu
“Tunggu apa lagi, mari menulis”
Bisa dimengerti betapa seorang penulis besar, Pramoedya Ananta Toer pun berkata bahwa menulis adalah sebuah keberanian. Zaman yang melingkupi kehidupannya bukanlah zaman jinak dan mudah ditaklukkan. Menjadi seorang penulispun menjadi sebuah tantangan yang membutuhkan keberanian besar untuk tetap bertahan menuliskan apa-apa yang menggeliat dalam benak. Alam pikirnya dikebiri, bukunya dilarang beredar, dan fisiknya ditahan. Zamannya tidak mudah, sebab tidak ada sistem ajeg yang memprakarsai bebasnya hati dan logika dituangkan dalam rangkaian kata-kata.
Dia kuat menerjang zaman, di tengah sesama yang terseret tertatih-tatih. Beruntung beliau terlebih dahulu menemui kata berani dibandingkan kompromi. Jika tidak, mungkin pengakuan dunia akan karya-karya besarnya hanya akan jadi angan belaka. Terali besi sekalipun tidak membunuh semangat menulisnya. Bahkan, masa kurungan telah diubahnya menjadi masa kontemplasi yang produktif, mencipta karya luar biasa. Itulah zaman yang melahirkan dan sekaligus tempat dilahirkannya Pramoedya Ananta Toer.
Dewasa ini kita dilahirkan dalam zaman warisan perjuangan. Meski masih ada pengekangan, energi perlawanan masih sangat segar dan kekar. Zamannya orang bebas mengungkap apa saja lewat rangkaian kata-kata. Tidak ada yang melarang. Luar biasanya, menulis detik ini, detik itu pula ribuan mata akan membaca. Satu orang menulis, ribuan orang bergerak. Media massa pun menunggu tulisan-tulisan dengan imbalan yang sangat besar. Serba-serbi kemudahan dan apresiasi berbaris menunggu para penulis-penulis baru. Inilah zaman kita hari ini. Lantas apa yang ditunggu? Mari menulis, sebab menulis itu asyik. (JFS)
Merindukan penulis-penulis baru PMK FISIP UNPAD
“Selamat membaca tulisan-tulisan jemaat PMK FISIP UNPAD. Semoga menginspirasi. Syalom.”
(1)
Menulis dan Menang Lomba
adalah Kebanggaan
Republik (Serba) Impor ?
(Juara I Lomba Bakar Itik FISIP UNPAD)
Oleh : Raja Haposan Pasaribu
Administrasi Negara 2010
Selamat datang di Republik serba impor. Mungkin itulah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan betapa negeri ini sungguh ironis. Hampir seluruh kebutuhan pangannya impor dari negara lain. Apakah ada semacam permainan dari gentiluomini (semacam elite negeri)?
Kita adalah waktu, yang setiap detiknya adalah kehilangan. Kecuali yang menanam biji kebaikan, setiap kehilangan menumbuhkan pohon masa depan. Waktu berlalu bagai kilat. Yang berlalu adalah kekinian yang lekas silam. Yang mendatang adalah kekinian yang lekas menjemput. George Orwell mengatakan, “Who controls the past controls the future, who controls the present controls the past.” Maknanya kemarin dan hari esok ditentukan hari ini.
Akan tetapi, siapakah gerangan yang menanam biji kebaikan hari ini? Mediokritas menjadi warna dominan yang kita sapukan di atas kanvas kepemimpinan nasional di segala bidang. Warna inilah yang memantulkan kecemasan ihwal krisis kepemimpinan. Ketidakteraturan menjadi tatanan umum kehidupan bernegara. Kekacauan tatanan inilah yang melahirkan kemacetan dan ketakterkendalian di mana-mana. Aji mumpung menjadi etos kekuasaan. Mentalitas menerabas inilah yang mengembangbiakkan korupsi dan menguras cadangan kekayaaan bersama.
Apa jadinya kalau di negeri pemilik hutan seluas 136 juta hektar ini masih ada rakyat yang kelaparan? Rasanya tidak masuk akal kalau memang demikian. Negeri tropis dengan keunggulan komparatif tanaman tumbuh lebih cepat empat kali dibandingkan dengan tanaman di negara subtropis ini semestinya mampu menyediakan bahan pangan sesuai kebutuhan 237 juta jiwa rakyat. Namun, fokus pembangunan yang kurang memperhatikan pertanian membuat kita justru harus mengimpor beras. Suatu ironi negeri agraris.
Selain itu penahanan ribuan ton ikan impor di sejumlah pelabuhan dan Bandar udara masih terus berlangsung. Pelaku usaha perikanan mengeluhkan upaya pemerintah untuk mengendalikan impor hasil perikanan belum diimbangi dengan sosialisasi persyaratan tambahan izin impor. Hingga akhir pecan lalu, ikan beku impor yang ditahan masih terus bertambah di Pelabuhan Belawan di Medan, Tanjung Priok di Jakarta, Tanjung Perak di Surabaya, Tanjung Mas di Semarang, dan di Bandar Udara Soekarno-Hatta di Tangerang, Banten. Negeri yang memiliki kekayaan laut yang mumpuni, ternyata ikan saja harus impor?
Apa kendala utama pertumbuhan ekonomi kita? Di Indonesia, balas jasa dari investasi relatif rendah akibat infrastruktur yang buruk, hambatan geografis, dan masalah iklim investasi. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak akan mampu bertahan jika tidak didukung oleh infrastruktur logistik. Kendala utama kita adalah infrastruktur, kususnya logistik. Antrean feri yang terjadi di Merak baru-baru ini membenarkan semua argumen itu. Akibatnya, biaya transaksi meningkat tajam. Padahal, dalam bisnis modern, kunci daya saing terletak pada rantai pasokan (supply chain). Namun, logistik yang buruk akibat kendala infrastruktur membuat supply chain terganggu.
Tengok saja harga komoditas seperti gula, tepung terigu, dan semen di daerah Jawa dengan daerah Indonesia timur (Nabire) yang bedanya lebih dari tiga kali lipat. Perbedaan harga yang sangat jauh ini terjadi karena sistem distribusi yang buruk akibat biaya logistik tinggi. Ironisnya, wilayah yang jauh dari Jakarta yang relatif pendapatan per kapitanya lebih rendah harus menanggung biaya hidup yang tinggi karena harga barang-barang kebutuhan pokok yang jauh lebih mahal. Studi LPEM (2005) juga menunjukkan bahwa biaya logistik di Indonesia mencapai 14 persen dari biaya produksi total. Bandingkan dengan Jepang (4,9 persen). Pada beberapa komoditas ekspor, seperti kakao, karet, dan kopi, lebih dari 40 persen dari total biaya logistik merupakan biaya sebelum pengiriman atau preshipment (Carana,2004).
Carana (2004) juga menunjukkan, biaya transportasi untuk mengangkut barang dari Warsawa (Polandia) ke Hamburg (Jerman) sejauh 750 kilometer hanya separuh ongkos pengiriman barang dari Makassar ke Enrekang di Sulawesi sejauh 240 kilometer. Ironisnya, pemerintah tahu persoalan ini dan juga solusinya. Itu sebabnya di dalam setiap pidato pemerintah, kita selalu mendengar rencana dan solusi yang tepat. Sayangnya, soal kita bukan pada rencana, melainkan implementasi. Implementasi membutuhkan keberanian untuk tidak populer dan kepemimpinan. Di sini kita defisit.
Menurut hemat saya, ketimbang datang dengan rencana baru, mulailah dari quick wins: selesaikan pembebasan lahan dalam beberapa bulan ini, setelah itu selesaikan peraturan pemerintahnya. Lalu, buktikan adanya realisasi satu-dua proyek infrastruktur. Jika tak juga jalan, lakukan evaluasi kinerja, berikan sanksi. Bagaimana soal pembiayaan? Bisa melalui public private partnership. Namun, perlu diperhatikan, privatisasi dan deregulasi infrastruktur- khususnya tarif- tanpa mengubah struktur pasarnya, dari monopoli menjadi pasar persaingan, tidak menjamin harga yang lebih murah bagi konsumen. Penyebabnya: sunk cost (biaya investasi yang tak bisa diperoleh kembali) yang tinggi.
Shunk cost yang tinggi akan mencegah masuknya swasta kecuali jika mereka diberikan konsensi khusus. Kalau begitu, ada risiko, kita hanya mengubah monopoli pemerintah kepada swasta. Apa solusinya? Untuk mengompensasi sunk cost, pemerintah bisa melakukan pengurangan pajak jika swasta mau membangun infrastruktur, khusunya di Indonesia Timur. Tentu penerimaan anggaran akan berpengaruh. Namun, bukankah dengan masuknya swasta, biaya pembangunan infrastruktur dapat diperkecil? Dengan demikian, efek anggaran sebenarnya tidak berbeda jauh.
Namun, satu hal yang harus diingat: hambatan swasta untuk masuk tidak hanya soal sunk cost, tetapi juga kepastian peraturan. Misalnya, selesaikan soal pembebasan lahan dan cabut lisensi pengelola infrastruktur yang tak membangun proyeknya setelah waktu tertentu.
Apabila ini tidak dilakukan, intensif pajak tidak akan banyak menolong dan infrastruktur logistic tetap tak bisa diperbaiki. Tanpa logistic yang baik, lupakan target pertumbuhan diatas 7 persen secara berkelanjutan.
Selain itu, sebaiknya pemerintah juga tidak mudah terpesona pada tingginya angka investasi, terutama investasi asing, dan menjadikan itu sebagai argumen sentral keberhasilan pemerintah. Bagi pelaku usaha, hidung mereka terbiasa dengan spekulasi. Di negara lemah dan area konflik, kadang mereka justru masuk untuk mengeduk keuntungan besar dan cepat. Inilah paradoks investasi yang jarang mendapatkan perhatian para pengambil kebijakan. Pendeknya, investasi bisa jadi indikator bagi negara yang secara politik stabil maupun oleng sekaligus.
Sejauh ini, kita tidak perlu “pesimistis”. Kita masih mempunyai “pulau-pulau” integritas, yaitu para kepala daerah yang bekerja keras untuk rakyatnya. Selain itu, kita juga masih mempunyai presiden. Anda tidak sadar?
Ironi Negeri Kolam Susu
(Juara II Lomba Bakar Itik FISIP UNPAD)
Oleh : Andria Perangin-angin
Antropologi 2007
Bukan lautan hanya kolam susu, kail dan jala cukup menghidupmu, tiada badai tiada topan kau temui, Ikan dan udang menghampiri dirimu
Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman.
Indonesia merupakan negara kaya raya sehingga negara barat menyebutnya sebagai surga Asia. Tidak berlebihan koes plus menuliskan lirik lagu seperti diatas karena memang benar kanyataannya. Kita memiliki tanah yang subur, barang tambang yang melimpah seperti di Papua (Freeport) dan batu bara di Kalimantan, kita juga memiliki ladang minyak yang banyak. Hasil laut kita juga melimpah, baik dari segi ekologinya maupun sosial ekonominya. Selain itu letak kita yang sangat strategis karena diapit oleh dua benua dan dua samudra membuat Indonesia menjadi jalur perdagangan internasional.
Sayanganya diballik kekayaan Indonesia ini banyak terdapat cerita yang sangat memilukan hati kita sebagai anak bangsa. Indonesia dikenal sebagai negara maritim dan agraris meyisikan luka yang sangat besar bagi para nelayan dan petaninya. Dari sektor laut yang menikmatinya adalah nelayan asing seprti Malaysia, China, Thailand, sementara nelayan kita masih hidup dalam garis kemiskinan. Hal ini dikarenakan selain dari pertahanan laut dan udara kita yang sangat bobrok, nelayan kita yang sebagian besar masih menggunakan teknologi tradisional sehingga nelayan tidak bisa memaksimalkan tangkapannnya untuk memenuhi kebutuhan ikan nasional maupun internasional. Akhirnya pemerintah mengambil jalan pintas dengan mengekspor ikan dari China, Thailand, Malaysia, padahal ikannya berasal dari laut Indonesia yang didapat seccara illegal. Pemerintah juga tidak memberikan jaminan sosial kepada nelayan sehingga para nelayan masih tetap terikat pada sistem patron-klien, ini membuat para nelayan tidak bisa menjual hasil laut mereka secara bebas atau dalam artian mereka masih terikat pada patron-kalien tersebut. Dalam pengelolaan laut yang dilakoni oleh pemerintah malah merugikan rakyat nelayan karena pembentukan paraturannya (undang-undang) tidak melibatkan nelayan itu sendiri sehingga pemerintah hanya mengedepankan pendapatan daerah tanpa memperhatikan kehidupan para nelayan, dalam hal ini tentu yang diuntungkan adalah orang-orang yang memiliki modal.
Dalam masyarakat petani kebanyakan mereka tidak memiliki tanah, atau dengan kata lain mereka adalah buruh tani yang bekerja kepada tuan-tuan tanah. Kondisi para petani sekarang malah lebih buruk lagi karena mereka tidak mendapatkan akses yang baik untuk mengembangkan pertanian mereka, seperti pupuk, bibit, alat-alat pertanian, akhirnya mereka menjual tanah mereka untuk dibangun pabrik-pabrik industri atau dijual kepada tuan tanah. Dalam menyambung hidup, mereka bekerja di pabrik-pabrik tersebut atau bekerja kepada tuan tanah. Bila tanah yang subur seperti yang ada di Pulau Jawa ini dijadikan sebagai pabrik untuk produksi maka bukan tidak mungkin kita akan mengalami krisis pangan. Tanah yang ada di Pulau Jawa sangat cocok untuk pertanian terutama tanaman padi, jadi bila dibangun menjadi lahan industri sangat salah dalam perancaan. Contohnya saja seperti yang terjadi di Karawang, seharusnya Karawang merupakan sebagai lumbung padi Jawa Barat kini telah berubah menjadi lahan industri. Jumlah penduduk di Indonesia yang berpusat di Jawa membuat pemilik modal menginvestasikan uangnya ke Pulau Pawa.
Kekayaan Indonesia yang melimpah ruah tidak bisa dinikmati oleh masyarakatnya yang hampir mencapai 250 juta jiwa karena dari seluruh pertambangan kita baik minyak, batubara, timah, emas dan gas sebesar 92% dimiliki oleh pihak asing. Jadi yang menikmatinya adalah bangsa asing, sementara bangsa kita menjadi buruh di dalam perusahan tambang tersebut. Hal ini memang sangat menyakitkan kita karena kita hanya menjadi bangsa kuli di negeri sendiri dan menjadi tuannya adalah para pemilik modal terutama pemilik modal asing. Bila kita kembali pada sejarah, awal terbukanya keran investor masuk ke Indonesia pada saat ditanda tanganinya UU Penanaman Modal Asing ditahun 1967. Mulai dari situ keran untuk masuknya pemilik modal asing tidak terbendung dan sekarang pemerintah kita telah kebablasan. Dalam atuarannya pihak swasta bisa menguasai milik negara sampai 95%, kita bisa lihat keuntungan yang diraup oleh pihak swasta dan yang didapat oleh Indonesia. Melihat hal seperti ini sangat wajar rakyat Indonesia tidak mendapatkan apa-apa dari hasil kerja sama dengan asing. Para petani dan nelayan tidak mendapatkan hasil dari pengelolaan barang tambang Indonesia.
Indonesia yang katanya surga dunia, seperti yag didendangkan oleh koes plus sepertinya berbanding terbalik dengan fakta yang ada di negara kita. Indonesia bagaikan negeri dongeng yang sangat kaya alamnya, tetapi rakayatnya miskin akibat dari kepemimpinan rajanya yang tidak becus. Kendali negara kita tidak ada pada pemimpin negara lagi, tetapi kita dikendalikan oleh para pemilik modal sehingga yang bisa menikmatinya seluruh keindahan dan kekayaan Indonesia hanya para pemilik modal saja, atau dengan kata lain yang memiliki Indonesia adalah para pemilik modal. Sebenarnya pemerintah harus bertanggung jawab untuk mensinkronkan kepentingan rakyat banyak dan mengontrol kepentingan para pengusaha.
REKONSILIASI KEADAAN SOSIAL
Keadaan Indonesia sekarang memang sangat kacau balau dan menyedihkan karena tatanan negerinya sudah sangat hancur. Pemerintahnya sibuk mengurusi kesepakatan-kesepakatan politik dan rakyatnya sulit untuk mendapatkan makanan dan tempat tinggal yang merupakan kebutuhan pokok manusia. Keadaan sulit bukan berarti tidak bisa, ini harus ditanamkan kepada para pemuda Indonesia karena pemuda sebagai generasi penerus tidak boleh patah semangat apa lagi menjadi apatis.
Msyarakat Indonesia memang telah melupakan sejarah bangsa sendiri sehingga buah pemikiran para founding mother and father kita juga terlupakan. Memang Indonesia telah mengutak-atik UUD 1945 untuk kepentingan para pemilik modal terutama amandemen ke-IV pasal 33. Dalam undang-undang juga terjadi tumpang-tindih antara UU Penanaman Modal Asing dengan UU Pokok Agraria. Isi kedua undang-undang ini jelas sangat bertentangan karena UU Penanam Modal Asing sangat pro terhadap pemilik modal, sedangkan UU Pokok Agraria pro terhadap rakyat. Dalam Undang-undang Pokok Agraria menjamin semua warga negara untuk memiliki tanah karena landasan pemikirannya adalah manusia hidup karena ada tanah yang bisa diolah untuk berproduksi sehingga tanah harus didistribusikan kepada rakyat secara merata sesuai dengan kemampuannya untuk mengolah. Sangat disayangkan memang pada pemerintahan orde lama konsep ini belum terlaksana dan orde baru konsep ini terlupakan sampai sekarang. Jadi kita harus melakukan rekonstruksi ulang terhadap Undang-undang Pokok Agraria karena kita harus menyesuaikannya dengan keadaan masyarakat sekarang. Dengan UU Pokok Agraria ini pengaturan tentang barang tambang juga telah diatur sehingga rakyat tanpa terkecuali bisa menikamati semua hasil kekayaan alam Indonesia.
Ada hal yang harus kita catat tentang Indonesia bahwa kita bukan hanya negara agraris saja, tetapi kita juga merupakan negara maritim yang sangat strategis di dunia internasional. Dari segi laut ada 3 fakta yang harus kita catat yaitu,geopolitis, sosial-ekonomi, dan ekologis. Ketiga hal ini sangat berarti sehinga sangat diperlukan sebuah perhatian khusus untuk mengurusi kekayaan laut kita. Ada dua hal yang bisa pemerintah lakukan yaitu, pertama membentuk departemen khusus tentang kelautan karena selama ini kelautan masih ada dibawah departeman pertanian, kedua adalah melibatkan masyarakat pesisir (nelayan) dalam membuat UU tentang kelautan. Melalui UU Pokok Agraria dan pembenahan masyarakat pesisir maka masyarakat Indonesia bisa hidup sejahtra.
Bangga Menjadi Indonesia
(Juara II Lomba Bakar Itik FISIP UNPAD)
Oleh : Charles Mazmur Sibuea
Ilmu Pemerintahan 2007
Perjalanan bangsa ini sejak masa kemerdekaan hingga pasca reformasi banyak dipenuhi dinamika kebangsaan yang cukup memprihatinkan. Krisis multidimensi dalam ranah ekonomi, politik, sosial budaya, keamanan bahkan sampai pada krisis identitas kebangsaan menjadi sejarah panjang bangsa ini. Ditambah dengan realitas angka kemiskinan dan pengangguran yang semakin meningkat, aksi terorisme yang terjadi serta korupsi yang semakin menjadi-jadi menjadi justifikasi bahwa masyarakat bangsa ini tidak lagi bangga menjadi Indonesia.
Hal ini semata-mata tidak hanya terjadi akibat semakin merosotnya martabat negeri ini, namun juga terjadi akibat semakin derasnya arus globalisasi. Kita dapat melihatnya dari tren yang ada di masyarakat, dimana paradigma masyarakat lebih cenderung bangga dalam hal mengkonsumsi barang luar negeri dalam pemenuhan barang yang dimiliki. Selain dalam hal pemenuhan barang yang dimiliki, kebudayaan luar negeri juga menyebabkan lunturnya karakter bangsa. Secara gamblang, kita dapat melihatnya bersama dari semakin tergerusnya nilai-nilai budaya gotong royong dan tolong menolong.
Namun demikian, seharusnya kita tidak lantas hanya menyalahkan arus globalisasi dan perkembangannya. Karena menurut hemat saya, seharusnya kita menggunakan perumpamaan air putih dalam menghadapi arus globalisasi dan perkembangannya. Layaknya air putih yang tidak dapat disatukan dengan semua material yang bercampur dengannya, begitulah seharusnya kebudayaan kita. Dapat saling tumpah tindih atau berbaur satu dengan yang lainnya, akan tetapi bukan berarti larut dan bercampur bahkan hilang nilai kemurniannya. Kira-kira seperti itulah seharusnya masyarakat negeri ini didalam menghadapi kebudayaan luar negeri.
Dari kondisi masyarakat seperti yang digambarkan di atas muncul sebuah pertanyaan tentang bagaimana membangun kebanggaan terhadap Indonesia yang kita cintai bersama? Salah satu caranya adalah dengan memperkenalkan keragaman budaya yang ada kepada generasi anak-anak kita. Kita mengetahui bersama bahwa negeri kita memiliki kekayaan budaya yang tidak dimiliki oleh bangsa lain. Mulai dari sabang sampai dengan merauke masing-masing memiliki kebudayaannya sendiri, diantaranya seperti kesenian-kesenian seperti ondel-ondel, reog ponorogo, beragam jenis tari-tarian hingga wisata kuliner nusantara.
Kita seharusnya bangga dengan semua kekayaan budaya yang ada. Karena belum tentu suatu negara memiliki keanekaragaman budaya seperti yang kita miliki bersama. Kita juga sudah sepatutnya melestarikan dan mematenkannya. Tentunya agar warisan yang diberikan nenek moyang kita tidak diambil dan diakui sebagai hak milik negara lain. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa banyak hasil kekayaan budaya kita yang coba diambil oleh negara seberang, seperti batik, kesenian wayang, lagu daerah dsb. Hal ini seharusnya mendapat perhatian kita bersama, bukan hanya dari pemerintah semata, karena sudah selayaknya sebagai generasi penerus bangsa kita bertugas menjaga dan memelihara budaya yang ada sejak dahulu kala. Apabila kita tidak menjaganya, perlahan namun pasti, kelak tidak ada yang bisa kita wariskan kepada generasi anak cucu kita.
Selain itu cara lain untuk membangun kebanggaan terhadap negara kita adalah dengan menggalakkan kembali organisasi pramuka. Mengapa harus pramuka dan bukan kegiatan ekstrakulikuler lainnya? Kita semua tentunya tidak lupa, bahwa pramuka merupakan kegiatan ekstrakulikuler yang menumbuhkan rasa cinta terhadap Indonesia. Berbahaya, jika pramuka kehilangan tempat di hati para siswa. Karena apabila seseorang dari semenjak masa kecilnya sudah tidak cinta akan akan negerinya, sudah pasti ketika ia menjadi seorang pemimpin nantinya akan mengutamakan kepentingan pribadinya diatas kepentingan negara. Contohnya dapat kita lihat dari fenomena banyaknya atlit, pelatih, hingga tenaga ahli Indonesia yang sudah dibiayai oleh negara ke luar negeri yang tidak mau lagi kembali membangun negerinya sendiri. Jadi, nasionalisme merupakan bagian penting bagi generasi penerus bangsa ini untuk membawa negeri ini keluar dari krisis multidimensi.
Sudah seharusnya rakyat negeri kita tidak merasa minder dengan kemajuan yang dicapai negara lainnya. Meskipun Indonesia memiliki banyak sejarah kelam dalam kehidupan ketatanegaraannya, seharusnya kita bersyukur akan melimpahnya sumber daya alam yang ada. Mulai dari gas alam yang ada di ujung utara Indonesia, hingga tambang emas di ujung timur negara kita, serta ditambah lagi hasil alam lainnya seperti hasil pertanian, perikanan hingga perminyakan merupakan kekayaan yang belum tentu dimiliki oleh Negara lain. Salah satu bentuk perwujudan nyata dari ungkapan rasa syukur kita atas kekayaan alam yang ada adalah dengan menuntaskan reformasi di bidang pendidikan.
Mengapa reformasi pendidikan harus dituntaskan? Kita telah melihat bersama betapa hasil kekayaan alam kita tidak dimanfaatkan seluas-luasnya bagi kesejahteraan rakyat Indonesia, hal itu terjadi salah satunya diakibatkan oleh ketidakmampuan sumber daya manusia kita didalam mengelola kekayaan alam yang ada. Seandainya sumber daya manusia kita telah mampu bersaing secara global dengan tenaga ahli dari negara tetangga, besar kemungkinan kita akan mampu bersaing dengan negara lain. Dengan asumsi jika sumber daya manusia kita telah memiliki kemampuan dalam mengelola sumber daya alam secara mandiri, kesejahteraan rakyat akan relatif lebih mudah terpenuhi.
Cara lain untuk membawa Indonesia agar mampu dalam menghadapi arus globalisasi adalah dengan menuntaskan permasalahan korupsi. Korupsi kini sudah menjadi budaya dan menjadi masalah utama. Semua orang bisa melakukannya, tidak hanya elit pejabat dan birokrat. Salah satu cara memberantasnya bisa dilakukan dengan digencarkannya pendidikan etika dan agama, disosialisasikannya peraturan perundang-undangan yang mengaturnya serta dijatuhkannya suatu sanksi yang tegas hingga menimbulkan efek jera bagi para pelakunya. Namun semua alternatif cara yang ada untuk memberantas korupsi tentunya tidak akan dapat tercapai apabila kita semua sebagai rakyat negeri ini belum mempunyai suatu semangat bersama bahwa kita bangga menjadi Indonesia.
“Tuntaskan Pengangguran Mulai Dari Desa”
(10 Besar Freetwetion UI 2011)
Oleh : Junius Fernando S Saragih
Ilmu Pemerintahan 2009
Hari-hari ini wilayah Eropa dan Amerika Serikat dilanda kegamangan dan kelimpungan. Krisis yang membahana memaksa lahan pekerjaan secara paripurna memberhentikan para pekerja. Alasannya adaptasi terhadap kondisi ekonomi yang tidak kondusif. Jumlah pengangguran yang meningkat lahir sebagai konsekuensi yang tak terbantahkan.
Suasana semakin mencekam. Tak tanggung-tanggung para pemimpin negarapun ikut dipaksa lengser oleh para penganggur seperti yang terjadi di beberapa negara di Eropa.
Lantas, bagaimana dengan Indonesia? Sudah barang tentu Indonesia bukanlah negara adidaya yang tinggi imunitasnya terhadap krisis global. Kendatipun pada krisis global 1997-1998, Indonesia termasuk salah satu negara yang mampu bertahan dan mampu menstabilkan kondisi perekonomiannya. Dominasi asing yang begitu besar dalam dunia ekonomi Indonesia sangat memungkinkan bencana ekonomi yang berdampak pada tingginya tingkat pengangguran juga ikut melanda republik ini.
Data BPS, Agustus 2011 melansir tingkat pengangguran terbuka di Indonesia turun menjadi 6,56 % dibandingkan Februari 2011 sebesar 6,80 %. Opini masyarakat adalah adanya peningkatan penyerapan tenaga kerja. Faktanya, dalam data tahun serupa jumlah angkatan kerja ikut menurun. Yang perlu digaris bawahi adalah jumlah penduduk Indonesia yang bekerja justru menurun pada Agustus 2011 yaitu sebesar 109,7 juta orang dibandingkan Februari 2011 sebesar 111,3 juta orang. Hipotesisnya penurunan tingkat pengangguran lebih banyak dipengaruhi oleh menurunnya jumlah angkatan kerja dibandingkan alasan meningkatnya jumlah penduduk Indonesia yang bekerja.
Realease CIA juga menempatkan Indonesia pada posisi ketiga negara dengan tingkat pengangguran tertinggi di Asia Tenggara. Seharusnya hal ini menjadi berita buruk untuk negeri kita. Pasalnya Indonesia yang saat ini dipercaya sebagai ketua ASEAN justru sama sekali tidak menyinggung isu pengangguran dalam kesepakatan KTT ASEAN untuk diatasi secara kolektif. Sampai saat ini data-data yang beredar mengindikasikan bahwa pengangguran masih menjadi bahaya laten bagi negeri ini.
Unjuk rasa para pengangguran di Amerika dan Eropa menyiratkan suatu alarm bahwa isu ini harus segera dicegah pertumbuhannya. Indonesia sudah saatnya meninggalkan penanggulangan pengangguran yang sarat dengan pragmatisme. Pengiriman buruh migran misalnya, dari tahun ke tahun mengalami peningkatan dan terhitung sebagai solusi pengangguran di Indonesia. Ironisnya seiring berkurangnya jumlah pengangguran, jumlah kasus penganiayaan dan perdagangan anak justru semakin memuncak.
Revitalisasi Potensi Desa dan Sektor UKM
Pedesaan sebagai kunci permasalahan harus dijadikan titik awal dalam mengurai benang kusut isu pengangguran. Kini waktunya desa bergelora dan menstimulus perkembangan ekonomi Indonesia. Corak desa yang tradisional dengan potensi agraria dan usaha kecil menengahnya menjadikannya leluasa berhadapan dengan goncangan ekonomi global.
Data terakhir BPS Agustus 2011, sektor agraris masih menjadi lahan pekerjaan mayoritas masyarakat Indonesia yaitu sebanyak 39,33 juta pekerja. Di tengah permasalahan pangan yang berujung pada impor pangan yang besar, sudah saatnya kita memberikan perhatian yang lebih masif.
Kemudahan akses modal melalui revitalisasi koprasi berbasis masyarakat desa. Upaya inovatif dengan mengadakan bank-bank dengan konsep mikrokredit. Seperti yang pernah dipraktekkan oleh seorang ekonom Bangladesh pemenang penghargaan nobel 2006, Muhammad Yunus ini diharapkan mampu menjadikan masyarakat pekerja tidak lagi kelimpungan mengenai modal kerja.
Semangat masyarakat desa untuk membentuk usaha-usaha keluarga dengan multi sektor yang mampu mendukung potensi ekonomi utama desa menjadi topik yang urgen dilakukan. Di samping menunjang perkembangan ekonomi, multi sektor inilah yang akan menyerap para angkatan kerja di desa.
Desa yang mayoritas bercorak pertanian, tidak mengharuskan masyarakat desa secara paripurna bekerja sebagai petani. Sektor penyediaan pupuk, transportasi, pengemasan, pemasaran, dan permodalan harus juga mampu diisi oleh masyarakat desa sebagai lahan pekerjaan. Sektor-sektor inilah yang kemudian bersinergi dalam upaya menghidupkan perekonomian Desa.
Korea, Jepang, dan Taiwan telah membuktikan bagaimana usaha-usaha kecil keluarga mampu merambah ke arah ekonomi makro dan merangkul para angkatan kerja. Tidak dapat dipungkiri bahwa sistem desentralisasi produksi sukses menciptakan struktur industri yang mantap dan kuat.
Isu pengangguran tidak akan terselesaikan dengan kebijakan tanpa peran masyarakat. Dalilnya adalah permasalahan pengangguran sudah barang tentu lebih dipahami oleh pengangguran itu sendiri. Mengidentifikasi permasalahan menjadi penting untuk bisa memberikan resep obat yang tepat. Revitalisasi potensi ekonomi dan usaha kecil masyarakat desa relatif lebih efektif untuk isu pengangguran di republik ini.
(2)
Dari dulu Jemaat PMK Suka Nulis
Ini salah satu tulisan senior kita
Tulisan Alumni PMK Fisip yang Tersimpan
Dalam Arsip PMK Fisip Unpad
Mahasiswa Kristen : “Berdiri di Atas Dua Kaki”
Jan Ramos Pandia*
Menjadi seorang mahasiswa Kristen, jelas bukanlah merupakan sebuah kebetulan, apalagi kecelakaan. Adalah Allah, yang membuat kita kemudian berada di kampus kita masing-masing. Kita percaya akan rencana-Nya yang nyata dalam segala hal, ada rencana yang ingin Ia genapi dan ada misi yang Ia ingin kita lakukan, ketika anda dan saya memiliki identitas sebagai mahasiswa Kristen. Penulis sendiri sering merasa dirinya gagal untuk memahami hal ini. Adalah hasil dari sebuah perenungan yang panjang yang melahirkan penulisan artikel ini, muncul dari rasa penasaran yang begitu mendalam, rasa ingin tahu yang begitu besar akan peran dan identitas yang seharusnya diambil oleh mahasiswa Kristen. Ketika kampus-kampus lowong dari mahasiswa Kristen yang seharusnya ambil bagian secara aktif di dalamnya. Apakah yang sedang terjadi?
Pilihan itu ada di tangan setiap kita, untuk menjadi atau tidak menjadi aktif, untuk terlibat atau tidak, dalam kegiatan-kegiatan kemahasiswaan yang ada di kampus kita masing-masing. Bagaimanapun, ini semua adalah konsekuensi logis dari sebuah pilihan. Bagaimana kita membuat pilihan, dan bagaimana seharusnya peran mahasiswa Kristen yang ideal? Dengan hormat, tanpa ingin menggurui, ijinkan saya berbagi pengalaman dan pendapat dengan anda sekalian.
Berdiri di Atas Dua Kaki
Berdiri di atas dua kaki berbicara tentang konsep keseimbangan, yakni keseimbangan dalam hidup seorang mahasiswa Kristen. Kita tidak akan pernah seimbang, jika kita berdiri hanya diatas tumpuan satu kaki saja. Bahkan akan sangat ironis kalau kita berdiri tanpa tumpuan kaki sama sekali, tidak kaki kiri ataupun kaki kanan. Mudah-mudahan anda mulai bertanya, apa yang sebenarnya yang menjadi kaki kanan dan yang mana menjadi kaki kirinya? Kalau begitu adanya, mari kita mulai pembicaraan ini dengan lebih serius.
Kaki kanan berbicara tentang pelayanan kita. Tempat atau aktivitas dimana kita sedang bertumbuh dalam pengenalan akan Kristus Yesus dari hari ke hari. Tempat dimana kita sedang dimuridkan dan memuridkan saat ini. Memiliki jadwal yang teratur untuk bersekutu, berdoa, berbagi berkat dan pergumulan. Kaki kanan berbicara tentang identitas kita sebagai orang Kristen yang harus terus bertumbuh dalam kasih akan Allah dan sesama, Berkarya bagi Allah di masa muda kita. Singkatnya, pelayanan ini bisa saja bernama Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK), LPMI, Navigator, Perkantas, GKKD, GEIS, Yehezkiel, Persekutuan pemuda gereja (Permata, NHKBP) dan yang lainnya. Catatan pentingnya adalah, anda sedang bertumbuh dalam pelayanan anda tersebut. Hal ini berbicara tentang nilai-nilai yang kita pegang teguh, prinsip-prinsip hidup yang akan sangat sukar digoyahkan, tentang tujuan hidup kita yang paling utama.
Kaki kiri, berkaitan erat dengan status kita sebagai mahasiswa. Peran kita sebagai agen of chance yang dinamis. Kampus menawarkan begitu banyak pilihan kegiatan bagi kita untuk terlibat di dalamnya. Pilihan kegiatan tersebut bisa saja bernama Himpunan Mahasiswa (HIMA), Badan eksekutif Mahasiswa (BEM), kelompok diskusi, kelompok debat, kelompok pecinta alam, dan kelompok kegitan mahasiswa lainnya. Kata kuncinya adalah sebagai mahasiswa Kristen kita memiliki peran yang aktif dalam dan kontribusi yang nyata bagi kampus dan masyarakat dimana Tuhan telah tempatkan kita. Adapun alasan kenapa kita harus memilih salah satu atau beberapa diantara kegitan tersebut adalah karena di sinilah idealisme kita akan di bangun, kepedulian kita akan diasah, kontribusi kita akan ditantang, dan mata kita akan dibukakan bagaimana sesungguhnya relaita yang ada di kampus, masyarakat, dan bangsa kita saat ini. Mungkin tidak akan banyak perubahan besar yang kita lakukan, atau mungkin pada kesempatan tertentu kita malahan terjebak dalam pragmatisme, namun bagaimanapun kita harus ambil bagian. Karena Allah memanggil kita ke kampus, maka tidak perlu dibantah lagi bahwa sebagian besar center of gravity kita adalah di kampus. Berusaha untuk menjadi berkat (terang, garam, dan saksi Allah) bagi kampus kita.
Kedua hal ini adalah sebuah keharusan, berdiri di atas kaki kiri dan kaki kanan. Adalah sangat baik bila kita menyibukkan diri dengan pelayanan dari hari lepas hari dan melakukan persekutuan yang rutin, tetapi tampaknya itu tidak bisa dijadikan alasan untuk tidak terlibat aktif di kampus. Karena dengan menjadikan pelayanan kita sebagai alasan, kita sedang berdiri di atas kaki kanan saja. Bagi saya, bukan pelayanan namanya ketika ia tidak mengutus kader-kadernya untuk ada dan aktif di kampus. Demikian juga, ketika kita terlibat sangat aktif di organisasi kampus, namun kita absen dari pelayanan yang mendukung dan menopang kita. Kita memiliki tempat untuk berbagi pergumulan, berdoa bersama, saling menegur dan membangun. Nilai-nilai apa dan prinsip hidup (kekekalan) apa yang kita pegang dan yakini? Kita sedang tidak bertumbuh. Seperti layaknya dua buah kaki, demikianlah konsep keseimbangan ini, tidak akan pernah anda seimbang tanpa berdiri di atas keduanya.
*Seorang mahasiswa kristen yang terus berjuang untuk berdiri di atas dua kaki
0 comments:
Post a Comment