.quickedit{ display:none; }

"Non Active"

 

Tuesday, May 17, 2011

Republik Tersandera Korupsi

1 comments
Republik  Tersandera Korupsi 


            Hiruk- pikuk seputar masalah yang melanda negeri ini tak kunjung usai. Negeri ini bagaikan negeri yang hanya digerakkan oleh kaum gentiluomini (semacam elite negeri). Lembaga Yustisia bukan menegakkan hukum, malah melanggar hukum. Legislatif bukan menata undang-undang, malah mengacaukan undang-undang. Eksekutif tidak mengeksekusi masalah, malah menutupi masalah dengan masalah lain. Pemerintah daerah yang mengurusi rakyat secara langsung lebih memikirkan nasibnya sendiri ketimbang memikirkan rakyatnya. Mungkin ini adalah sedikit gambaran dari Republik tercinta ini. Hambatan struktur dan kultur menjadikan korupsi tidak mudah diberantas. Pada sisi struktur, institusi hukum yang seharusnya menjadi ujung tombak pemberantasan justru paling banyak dicurigai terlibat dalam praktik korupsi. 

            Dari sisi kultur, kesadaran kolektif terhadap pemberantasan korupsi belum menyentuh pada perilaku sehari-hari. Berbagai perangkat hukum dikeluarkan untuk mendukung gerakan menumpas korupsi, termasuk dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi. Sulitnya praktik korupsi dibasmi dapat dilihat dari semakin tingginya kasus-kasus korupsi muncul di hadapan publik. Berdasarkan catatan Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebutkan, pada semester II (Juli-Desember 2010) terjadi peningkatan jumlah kasus korupsi yang masuk penanganan penegak hukum, menjadi 272 kasus. Sebelumnya pada semester I (Januari-Juni 2010) jumlah kasus korupsi mencapai 176 kasus. Hal sama juga terjadi pada kasus-kasus korupsi yang melibatkan elite politik, yakni kasus korupsi yang melibatkan politikus dari partai politik bukan pendukung pemerintah dengan politikus dari partai politik pendukung pemerintah. Hal demikian saya kira turut memicu ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja aparat penegak hukum dalam memberantas korupsi.
Jangan Hanya Menggantung Asap

            Dalam sudut pandang hukum formal, korupsi memang lebih identik dengan penyelewengan kekuasaan oleh penyelenggara negara. Boleh jadi, pemahaman ini merupakan refleksi dari pengertian korupsi yang berpusat pada institusi negara, yaitu penyalahgunaan kekuasaan negara yang merugikan keuangan negara. Karena menggerogoti keuangan negara yang dikumpulkan dari pajak seluruh rakyat, perilaku korupsi sekaligus melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas. Namun, adalah realitas bahwa dalam tataran kehidupan sehari-hari, korupsi kecil-kecilan kerap terjadi dan berjalan karena bisa “mempermudah” urusan yang sulit secara prosedural.
      
            Setidaknya dari hasil jajak pendapat yang dilakukan oleh Litbang Kompas pada 23-25 Februari 2011 sebanyak 802 responden berusia minimal 17 tahun[i] sekitar 38,2 persen responden mengaku pernah memberikan uang di luar tarif resmi untuk urusan administrasi, seperti KTP, SIM dan IMB. Begitu juga ketika ditanyakan pengalaman terkait terjadi pelanggaran lalu lintas, 34 persen responden mengaku pernah memberikan “uang damai” kepada polisi agar dilepaskan. Praktik penggunaan uang pelicin dalam urusan yang lebih serius juga terjadi. Dalam upaya mencari pekerjaan dan memperlancar urusan bisnis/usaha, sekitar 8 hingga 10 persen responden mengaku pernah melakukannya pula. Penyebab suburnya korupsi di berbagai lapisan masyarakat kerap kali ditudingkan kepada lemahnya penyelenggara negara, baik birokrasi maupun penegak hukum, untuk bersikap tegas menindak para pelaku korupsi. Namun, jika dikaji, bersemainya korupsi kerap kali sudah dimulai dari kondisi dalam masyarakat itu sendiri. Korupsi dalam arti luas, tak sekadar penyelewengan uang negara, ternyata sudah marak, jika tak mau disebut marak dalam kehidupan sehari-hari. Penipuan, dan penyalahgunaan wewenang merupakan perilaku yang pernah dialami atau minimalnya didengar responden.

            Sekitar 43 persen responden (berdasarkan hasil pengumpulan pendapat yang dilakukan Litbang Kompas pada 23-25 Februari 2011), menyatakan pernah mengetahui atau mendengar terjadinya korupsi dilingkungan pendidikan mereka, mulai dari jenjang sekolah bahkan hingga perguruan tinggi. Ironis memang ketika kita semua termasuk saya mengetahui bahwa korupsi dewasa ini ternyata sudah masuk ke ruang lingkup pendidikan. Begitu juga dengan institusi-institusi kenegaraan. Seakan-akan institusi-institusi kenegaraan mulai layu sebelum berkembang. Komisi Pemilihan Umum, sebagai penjaga asupan proses demokrasi, mengalami defisit kepercayaan. Pemilu 2009 boleh dikata sebagai pemilu terburuk selama era reformasi, dengan dampak kekisruhannya yang mengemuka pada tahun 2010, yang berakhir dengan pembelotan salah seorang komisionernya ke partai politik. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sebagai penjaga akuntabilitas demokrasi, seakan mati suri. Setelah mengalami proses kriminalisasi yang berbau politis, para komisionernya seperti mengalami krisis kepercayaan diri. Melengkapi krisis eksistensial ini, Ketua KPK baru dipilih dengan seleksi yang mahal dan lama hanya untuk memimpin satu tahun.

            Problem struktur dan kultur menjadi bagian penting untuk memetakan penggunaan korupsi di negeri ini. Dalam konteks struktur, negara harus berperan aktif membersihkan institusinya dari cengkraman korupsi demi terwujudnya pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Namun, pencegahan dan pemberantasan korupsi di tingkat struktur juga harus diimbangi pada level kultural. Pendidikan antikorupsi harus menjadi bagian penting dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi. Prestasi adalah hasil sebuah disiplin dan perjuangan. Mereka yang tidak cukup kuat berjuang dan disiplin tidak harus merebut prestasi orang lain, atau meraihnya dengan cara-cara yang tidak beradab. Maka, bila para petinggi itu mau “berhenti mencari laba”, mencukupkan apa yang sudah dimilikinya, secara tidak langsung ia telah memberikan peluang itu kepada orang lain, kepada rakyat hingga diakar rumputnya. Mungkin disini keadilan sosial akan tercipta, di mana kita yang mengupayakannya, pemerintah yang menjaganya. Niscaya kedepannya Indonesia akan selangkah lebih maju. Demi mewujudkan Indonesia yang merdeka dan bebas dari jerat korupsi.  Semoga!                

 
RAJA PASARIBU                                                                                                    
Mahasiswa Administrasi Negara  FISIP UNPAD                                                                    

            



[i] Metode Jajak Pendapat dilakukan melalui telepon ini diselenggarakan Litbang Kompas tangggal 23-25 februari 2011. Sebanyak 802 responden berusia minimal 17 tahun dipilih secara acak.

1 comments: