Pejabat adalah pelayan dan pelindung masyarakat. Namun, kata-kata yang diucapkan dengan penuh perasaan saat seseorang dilantik menjadi pejabat tinggi, itu pun tidak punya makna apa-apa. Praktiknya mereka alpa, sengaja lupa atau bahkan dengan sengaja ingin menunjukkan kekuasaan di depan mata masyarakat yang seharusnya mereka hormati dan layani. Sungguh menyedihkan. Alih-alih mendapatkan teladan yang baik dari pemimpin, mengharapkan pejabat yang gagal bekerja untuk mengundurkan diri saja,sulitnya bukan main. Betulkah ini kultur bangsa Indonesia? Kalau memang itu kultur, apakah harus kita terima begitu saja. Bukankah kultur adalah hasil kreasi manusia yang juga bisa direvisi, ditambah, dikurangi, ditumbuhkan, atau dimatikan oleh manusia itu sendiri. Mengharapkan kesadaran datang sendiri dari lubuk hati para pejabat yang lupa diri ini agaknya sangat berat. Jangankan hanya disindir, diancam pidana saja mereka tidak takut. Dicaci dan dimaki rakyat pun mereka cuek, dianggap sebagai bagian dari risiko menjadi pemimpin.
DPR sekarang bisa dibilang tidak layak menjadi wakil rakyat. Sebagai contoh, dari 70 rancangan undang-undang (UU), DPR periode ini hanya mampu menyelesaikan 16 UU. DPR membuat garis demarkasi yang jelas antara suara rakyat dan suara DPR. Aspirasi rakyat tidak pernah sampai dan didengarkan.Menurut hemat saya juga DPR sekarang memiliki mekanisme yang buruk. DPR saat ini seperti melaju sendrian, tak memiliki lembaga pengawas. Tidak ada sistem check and balances untuk kebijakan yang diambil secara kelembagaan. Karena itu, sudah sepatutnya dibentuk sistem check and balances secara internal, yaitu dengan memfungsikan kamar kedua atau Dewan Perwakilan Daerah dalam fungsi legislasi, pengawasan, dan penganggaran. Pengawasan yang bisa dilakukan hanya pengawasan yuridis oleh Komisi Pemberantasan Korupsi serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan. Namun keduanya hanya terkait dengan tindak pidana, bukan kebijakan.
Namun, kita tidak boleh menyerah dan putus asa untuk senantiasa mengingatkan, mengkritik para pejabat gaya feodal ini. Kita harus mendesak DPR segera mengajukan revisi undang-undang atau peraturan protokoler yang telah memiliki andil besar dalam membentuk perilaku para pejabat kita. Jangan sampai hanya gara-gara ketentuan protokoler, para pejabat menjadi tidak peka,bebal, antikritik, dan selalu minta dilayani. Sungguh sayang bila rekrutmen politik calon pemimpin yang sudah diperbaiki dan dikawal dengan baik, akhirnya sia-sia gara-gara belenggu protokoler dan birokrasi. Birokrasi dan protokoler adalah bagian sistem administrasi negara. Namun, seharusnya visi dan misinya diarahkan untuk melayani masyarakat, bukan menjauhkan pejabat dari kewajibannya sebagai abdi,pelayan masyarakat. Kita tidak bisa mengandalkan budaya malu, karena malu bukan lagi jadi rambu-rambu yang ditaati para pejabat yang berbuat curang, melanggar sumpah, korupsi, atau melanggar hukum.Yang dominan justru budaya adu kuat,adu beking,dan adu kekuasaan. Kita harus lawan ramai-ramai sifat terakhir ini. Kita wajib menjaga bangsa ini tetap mengamalkan dengan baik nilai-nilai luhur dasar negara dalam bertindak dan berperilaku. Anda tahan hidup dalam kegamangan sosial-politik seperti sekarang ini? Saya tidak !!
Raja Pasaribu
Mahasiswa Administrasi Negara Unpad
0 comments:
Post a Comment