.quickedit{ display:none; }

"Non Active"

 

Friday, October 28, 2011

Youth is Like Diamonds... (Edisi Sumpah Pemuda 28 Oktober 2011)

0 comments
Jika pada orang tua ada istilah usia emas, dan pasangan dewasa punya istilah “pernikahan perak” saat memasuki usia pernikahan ke-25, maka anak muda juga punya sebutan istimewa; “bagaikan berlian”. Pernah dengar lirik lagu “Forever Young” yang dinyanyikan oleh Alphaville? Ada satu kalimat dalam liriknya yang saya pandang istimewa; “Youth is like diamonds in the sun, and diamonds are forever”. Apalah artinya lirik manis tersebut jika pemaknaan terhadap sesuatu kita pandang sebelah mata. Seumur-umur saya belum pernah punya berlian pribadi, jadi sesungguhnya nggak begitu paham tentang nilai dari berlian. Tapi, semua orang tahu kalau berlian itu bernilai (dan digemari oleh para wanita, hmmm).
          Seperti emas dan perak, berlian juga memiliki harga jual yang tinggi apabila bobot nilainya tinggi. Semakin tinggi nilai berlian, semakin mahal harganya. Jika anak muda dinilai “mewah” seperti berlian adanya, rasanya dunia begitu indah karena memiliki pemuda lebih dari setengah penduduknya. Setidaknya, ini yang dikatakan oleh A.R Bernard, seorang senior pastor dan CEO dari Christian Cultural Center (CCC), bahwa 65% dari  penduduk dunia ini adalah anak muda, “but they are 100% our future!”, jelasnya.
          Sepertinya istilah “pemuda bagaikan berlian” ini mendapat dukungan dari rekan-rekan kita, sesama pemuda yang mewujudkannya dalam tindakan nyata. Mari tengok ke belakang, melihat pada zaman kerajaan di Israel sebelum masehi, telah terjadi beberapa kali pergantian pemimpin setelah Yosua mati (silahkan baca di Kitab Hakim-hakim). Kalau boleh menyambungkan dengan teori sosial, mengambil konsep perkembangan peradaban masyarakat oleh Marvin Harris, kehidupan manusia pada zaman hakim-hakim ini dapat digolongkan ke dalam kategori chiefdom society atau masyarakat peladang. Secara khusus, karakteristik masyarakat chiefdom terletak pada sistem kepemimpinannya yang sudah dikuasai oleh pemimpin yang relatif tetap untuk memimpin organisasi perang, sekaligus pengatur tukar-menukar barang dan jasa pada kampungnya (Harris, 1979 dalam Yuwono, 1995). Chiefdom merupakan kelompok masyarakat yang pola hidupnya masih menitikberatkan pada sektor perladangan (perkembangan dari masyarakat tribal), dimana lahan dan sumber air merupakan hal penting sebagai inti kebudayaan masyarakatnya (pernyataan ini diperjelas dalam Hakim-hakim 1: 14-15).
          Dalam keadaan yang demikian, kehidupan rakyat Israel pada waktu itu sangat bergantung pada sistem penguasaan sang pemimpin. Jika mengacu pada teori, hal ini dikarenakan posisi raja sebagai pemimpin memiliki kewenangan khusus untuk mendapatkan hasil pertanian (konsep upeti) sebagai bentuk penghambaan atas keputusan-keputusan yang diambil raja dalam rangka kepentingan masyarakat bersama. Nah, Alkitab memperjelas hal ini melewati kisah kepemimpinan di Israel. Setelah matinya Yosua, digambarkan bagaimana kehidupan Israel yang tanpa arah karena tidak ada pemimpin. Setelah minta dalam doa, Tuhan memilih suku Yehuda untuk maju memimpin umat Israel. Selanjutnya, kitab Hakim-hakim menceritakan adanya kondisi yang sama terjadi setiap kali pemimpin lama turun atau mati. Keadaan Israel ketika tanpa pemimpin digambarkan selalu kacau (lihat di Hakim-hakim 2:10 dan 3:7).
Kondisi yang kacau disebabkan hasil perbuatan rakyat yang dipandang jahat oleh Tuhan sehingga atas seizin Tuhan, rakyat Israel dikuasai oleh orang asing (penjajah). Bentuk penjajahan diwujudkan dengan perampasan hasil ladang rakyat, sehingga hal ini membuat rakyat semakin tidak berdaya (lihat Hakim-hakim 6:1-4). Namun, selalu ada perkenan Tuhan setelah rakyat berseru dan memanjatkan doa. Alhasil, Tuhan selalu memberikan pemimpin-pemimpin baru sesuai dengan kebutuhan rakyat pada saat itu. Beberapa pemimpin muda yang diangkat menjadi hakim atas rakyat Israel di antaranya; Otniel, Ehud, Debora, Gideon, dll. Kesediaan orang-orang muda ini sebagai pilihan-Nya menghasilkan perubahan nyata bagi rakyat Israel.  Mereka memiliki pengaruh yang sangat kuat bagi keberlangsungan hidup rakyat untuk menggenapi tujuan-tujuan Tuhan. Satu hal penting, yang membuat mereka maju sebagai pemimpin adalah; mereka punya Roh yang luar biasa! (Hakim-hakim 3: 10). Hmm, baiklah, sampai di sini berarti kata kuncinya; spirit!
          Oke, jika cerita di atas dipandang terlalu kuno dan historikal, kita bisa ambil contoh lain yang lebih aktual pada masyarakat kita sendiri. Baru-baru ini perhatian saya sempat tersita pada seorang perempuan muda yang namanya belum banyak dikenal orang. Adalah Sinta Ridwan (26 th), seorang pegiat sastra dan aksara kuno yang mendedikasikan hidupnya bagi tanah air. Kita nggak akan menyangka bahwa  aktifis muda ini adalah pengidap penyakit lupus (odapus) yang mematikan. Beberapa waktu yang lalu, program tv Kick Andy Hope menayangkan kisah perjuangannya,(http://kickandy.com/hope/hope/sinopsis/sinopsisshow/read/1866/INDAHNYA-BERBAGI.html#.TpP2na6kG_4.facebook). Sekalipun harus menanggung penyakit yang katanya belum ada obatnya ini, sebagai lulusan S2 Filologi Sastra UNPAD, Sinta memilih untuk berkarya seperti anak muda normal lainnya.
          Memang, visi itu penting buat kaum muda. Kecintaannya pada dunia sastra, membuat Sinta peka terhadap kondisi di sekitarnya. Merasa bahwa kelestarian naskah kuno itu penting, Sinta memberi dirinya sebagai pengajar aksara atau naskah kuno bagi masyarakat umum secara gratis, yang rutin diadakan di Gedung Indonesia Menggugat, Bandung. Sepertinya, mendramatisir penyakit bukanlah pilihan dirinya dalam berkarya. Sebuah novel tulisan Sinta, “Berteman dengan Kematian”, telah rilis pada Peringatan Hari Lupus Sedunia (9 Mei 2010) lalu. Novel ini berisi tentang otobiografi Sinta yang mengungkapkan minatnya untuk lebih memilih aktif berkarya secara nyata dari pada bergabung dengan kegiatan perkumpulan pengidap penyakit yang terlembagakan.  
          Perjuangannya juga menceritakan bagaimana tekadnya dalam mengajar yang mengharuskannya berangkat sebelum matahari terbit dan pulang setelah matahari tenggelam. Hal ini dikarenakan pantangan bagi jenis penyakitnya yang tidak boleh terkena matahari secara langsung. Sita bermimpi untuk membuat musium digital, dengan tujuan agar masyarakat dapat lebih mudah mengakses segala bentuk aksara kuno. Semua yang dilakukannya ini didasarkan oleh satu pemikirannya yang baik; “Tidak ada masa kini, tanpa adanya masa lalu, dan itu semua tertuang di dalam naskah kuno”.   
         Masih menyoal berlian, salah satu sikap yang bisa meningkatkan nilai kita sebagai anak muda adalah kreatifitas. Beberapa waktu yang lalu, saya sempat ngobrol sama seorang teman dekat. Usianya sebaya dengan saya, tapi beda rejekinya (hehe). Saat ini dia sudah berkecimpung di dunia bisnis dan menghasilkan omset puluhan juta setiap bulan.        Menurutnya, kekurangan anak muda kita sekarang adalah soal pola pikir; nggak banyak yang berani berpikir out of the box. Waktu saya tanya apa contohnya, dia menjawab, “Lihat aja, sekarang anak muda kita cara berpakaiannya sama semua. Semua ngikutin yang terbanyak. Hari gini mana ada yang berani pake celana gombrong? Yang ada juga diketawain!”, kira-kira begitu ucapannya. Mungkin, dalam hal ini benar juga, sih. Cara berpikir yang sama akan menentukan tindakan yang sama, dan terbentuklah pola linier alias sehati, sepikir, dan akhirnya sepenanggungan!
         Ngomong-ngomong soal out of the box, mungkin kita bisa lihat Raditya Dika (27 th) sebagai salah satu role model yang saat ini sedang digandrungi kaula muda belia. Tentu kita setuju, bukan karena penampilan menarik atau kriteria fisiknya—yang biasanya jadi syarat seorang artis kebanyakan, melainkan sikapnya yang lepas dan apa adanya lah yang membuat namanya kini naik melejit. Dia berani menunjukkan kreatifitasnya yang diwujudkan dengan ide-ide konyol dalam tulisan maupun acara tv. Positifnya bukan soal menjadi tenar, tapi kegilaannya dalam berpikir mampu mengajak anak muda Indonesia untuk ikut berpikir tentang bangsanya (lewat acara “Provocative, Proactive” yang dibawakannya di Metro TV). Saya nggak menyarankan kita untuk ikut “gila” seperti dia, tapi sebagai anak muda kita perlu berani tampil beda! Supaya apa? Tentu, supaya sinar dan kilauan kita sebagai berlian semakin terlihat dan memberi keindahan buat dunia. Kalau begitu, seperti Otniel, Ehud, Debora dan Gideon, minta dan peliharalah spirit anak muda dalam kehidupan sehari-hari. Lalu, ekspresikan dengan berani tampil beda! Akhir kata, selamat memeringati hari sumpah pemuda! Teruslah bersinar! (E.A)

SUMBER:


ALKITAB (kitab Hakim-hakim)
Yuwono, P. S. (1995). Evolusi Teknologi Subsitensi. Humaniora , 9.
http://radityadika.com/


Elisabeth Atilia Napitupulu
Mahasiswa Antropologi 2008

0 comments:

Post a Comment